Enyahlah Dari Pikiran!
Lelah dengan semua drama yang tercipta.
Lelah dengan semua wajah palsu mereka.
Kuputuskan untuk tetap diam.
Diam dan tetap terpikirkan.
Kucoba mengalihkan dengan yang lain,
namun kembali terdiam.
Tak ada yang lain di sini,
kemudian kembali terpikirkan olehku.
Kulangkahkan kaki ini untuk sebuah perjalanan,
menghindari diam, menghindari yang terpikirkan.
Terlalu jauh melangkah, lelah pula kudapat.
Kini tersandar aku pada sebuah bangku panjang
di dalam transportasi publik, melihat lurus ke depan
menembus kaca jendela di sebrang.
Pemandangan jalan raya yang berkelebat membuat
pandangan tanpa fokus.
Kemudian menyadari samar-samar pantulan dari kaca
jendela, sosok yang kutahu namun belum kupahami.
Hilang sudah titik fokus pandanganku,
kembali lagi terpikirkan olehku.
Aku kembali diam.
Entah akan kemana, entah apa yang dicari.
Masih pada perjalanan yang belum berakhir.
Kali ini terdiam pasrah pada kemacetan kota,
penuh sesak, bising, bercucuran peluh.
Terdiam lagi.
Kususuri jalan setapak yang entah apa di ujung sana.
Kemana saja tak masalah, selama menghindari diam.
Aku tak acuhkan tatapan orang lalu, biarlah.
Rumah-rumah, kios-kios, kendaraan yang hanya
sekelebat lalu di sudut mata, tiada arti.
Belum sampai di ujung jalan,
kuhentikan langkah tepat di persimpangan.
Diam dan memikirkan.
Lelah dengan semua wajah palsu mereka.
Kuputuskan untuk tetap diam.
Diam dan tetap terpikirkan.
Kucoba mengalihkan dengan yang lain,
namun kembali terdiam.
Tak ada yang lain di sini,
kemudian kembali terpikirkan olehku.
Kulangkahkan kaki ini untuk sebuah perjalanan,
menghindari diam, menghindari yang terpikirkan.
Terlalu jauh melangkah, lelah pula kudapat.
Kini tersandar aku pada sebuah bangku panjang
di dalam transportasi publik, melihat lurus ke depan
menembus kaca jendela di sebrang.
Pemandangan jalan raya yang berkelebat membuat
pandangan tanpa fokus.
Kemudian menyadari samar-samar pantulan dari kaca
jendela, sosok yang kutahu namun belum kupahami.
Hilang sudah titik fokus pandanganku,
kembali lagi terpikirkan olehku.
Aku kembali diam.
Entah akan kemana, entah apa yang dicari.
Masih pada perjalanan yang belum berakhir.
Kali ini terdiam pasrah pada kemacetan kota,
penuh sesak, bising, bercucuran peluh.
Terdiam lagi.
Kususuri jalan setapak yang entah apa di ujung sana.
Kemana saja tak masalah, selama menghindari diam.
Aku tak acuhkan tatapan orang lalu, biarlah.
Rumah-rumah, kios-kios, kendaraan yang hanya
sekelebat lalu di sudut mata, tiada arti.
Belum sampai di ujung jalan,
kuhentikan langkah tepat di persimpangan.
Diam dan memikirkan.
Wi... kamu nyasar lagi?
BalasHapusBingung memilih simpang kanan dan kiri
Tak menemukan apa yang dicari
Menyuap kaki menjauhi diri
Wi... kamu nyasar dalam harap?
Dalam gelap, kamu dibekap senyap
Mencipta ratap, mengutuk hinggap
sampai menjauh itu dekap
Wi... kamu nyasar dalam angkuh?
Membenci puluh yang mengeruh
Merengkuh lumpuh mulut riuh
Gemuruh...
Keruh...
Misuh...
Lalu suaramu pun kamu bunuh
Membiarkan raga tetap tersauh
Tak mungkin kamu membuang diam
Jika malam tak membentuk riam
Jika alunan terbendung makam
Jika pikiran kamu anggap ancam
Tak mungkin pula mengusir pikiran
Jika ego dan dendam dibiar kasmaran
Jika joran selalu mengait ingkaran
Jika hati sudah membuang Tuhan
Mengapa tak mencoba mencium air?
Daripada mengutuk hadir dan menjadi musafir
Mengalun takbir lalu memakan takdir
Mungkin bisa membuatmu sumilir
Menekuk petir,
lalu menertawakan getir
karena Yang Maha Khoir
selalu hadir dalam lahir
Wi.. apa nyasarmu masih berdesir?
Apa nyasarku masih berdesir?
HapusTidak,aku telah menemukan muaranya.
Di persimpangan itu aku melihat mereka,
mereka yang menungguku sejak lama.
Mereka yang menungguku di persimpangan,
bukan di ujung jalan.
Memastikan aku tidak salah pilih simpang.
Inilah tujuan perjalananku, merekalah tujuanku,
Tak pernah kusesali perjalanan ini.
Aku selalu menyukai sebuah perjalanan,
menyenangkan atau tidak.
Karena aku yakin akan ada mereka yang menungguku,
baik di persimpangan atau di ujung jalan.
Jangan pernah mempertanyakan Yang Maha Khoir
yang berada lebih dekat daripada nadi.
Lalu akan di manakah sosokmu, kak?
Baguslah jika dirimu telah bermuara
HapusTak lagi gelap menerka makhluk ibukota
Tak lagi sendu ditertawai dunia
Namun akan tetap kualun dalam doa
Semoga engkau segera bermuara
semoga engkau mencumbu tawa
semoga engkau membunuh tangis dengan lupa
dan barbagais emoga
Engkau berkata telah berjumpa di persimpangan
Dengan mereka yang kau sebut teman
Namun, kuharap itu hanya persinggahan
bukan menjadi tempat diri membenamkan
apalagi naik motor bertigaan
cabe-cabean
ah, apa yang baru kukatakan..
kuharap tidak demikian
Tak perlu menanyakan aku di mana
Sejak awal aku hanya sosok tiada
Terbit tenggelam berupa alpa
Suaraku pun dibungkam bila
Tanpa hirau dan sapa tak mengapa
Aku akan diam bersama jika
Tetaplah menanam perjalanan
Meramu pahit menjadi alasan
Mengharap insan memberi lengan
Moga nanti bahagia bersanding kian
Terima kasih.
Hapus@bang haw, lu modus aja :P
Hapuswkwkwkwk
pokoke semangat aja buat kakak Dwi :D
ahahaha, tuh, kak Haw modus aja xD
Hapusmakasih kakak Salam ^^
Appan, Lam.... gue kenapa dibilang modus gitu... :'(
Hapus