Yang Tak Kita Bicarakan
Source |
Aku berjalan perlahan menuju kedai kopi untuk bertemu dengan seorang laki-laki, menemaninya menghabiskan sore hari di penghujung pekan seperti biasanya.
"Kamu terlambat 26 menit," itulah sapaan yang kudapat darinya.
Dia selalu memilih tempat duduk di dekat jendela. Di meja kulihat sudah tersedia secangkir kopi cappuccino dan secangkir coklat panas di sisi meja satunya, seperti biasanya. Tanpa berucap aku langsung duduk dan menyesap coklat panas yang ternyata masih cukup panas.
"Topik apa yang akan kita bahas sore ini?" dia mengawali obrolan kami sore itu.
Aku hanya menatapnya dan tersenyum simpul, dengan begitu dia sudah tahu aku tidak keberatan dengan apapun topik yang akan dia bahas. Aku yang sebenarnya enggan bertemu dengannya lagi, enggan karena perasaan yang timbul ketika bertatap muka dengannya, perasaan yang aku tidak suka. Otakku sudah berkata 'jangan temui dia!' namun hatiku berkata sebaliknya.
"Apa kamu sedang bahagia saat ini?" tanyanya dengan santai.
"Bahagia? Entahlah, yang jelas aku sedang tidak sedih saat ini. Kenapa?"
"Aku masih ragu dengan rasa kebahagiaan. Apa aku pernah, ya, merasa kebahagiaan yang sesungguhnya? Sepertinya aku ingin mencari kebahagian hakiki."
"Aku pikir kebahagian itu diciptakan, bukan dicari."
"Dengan cara bagaimana? Menurutmu apa yang harus kulakukan?."
"Lakukan saja hal-hal yang kamu suka. Melakukan kegiatan yang kamu inginkan yang ketika melakukannya membuatmu lupa waktu dan membuatmu tersenyum."
"Sesederhana itu kebahagiaan menurutmu?"
"Iya. Tidak perlu lah merepotkan diri untuk bahagia."
"Lalu apa perlu ada orang lain untuk bisa bahagia?"
"Harusnya kamu tanyakan pada dirimu sendiri. Apa kamu perlu orang lain untuk bahagia?"
"Aku kan, ingin tahu jawabanmu."
Aku alihkan pandanganku ke cangkir di hadapanku, kuraih cangkir itu, menyesap coklat di dalamnya dan menikmati rasa pekat coklat yang tertinggal di lidahku.
"Kebahagian yang diumbar orang-orang di luar sana apa itu nyata, ya? Atau hanya terlihatnya saja bahagia, tapi sebenarnya tidak. Menurutmu bagaimana?"
"Menurutku itulah kebahagian mereka sesungguhnya. Mengumbar kebahagiaan semu." Dia tertawa mendengar jawabanku, mengangguk-angguk kemudian meraih cangkir kopinya.
"Tapi mungkin beberapa dari mereka memang suka menunjukkan kebahagiaan nyata mereka dengan orang-orang terdekatnya di luar sana," lanjutku.
"Hmm.." dia kembali menyesap kopinya.
"Bagaimana dengan cinta? Apa kalau cinta harus kucari?"
"Bahagia saja belum, sudah bicara cinta," jawabku apatis.
"Lalu?"
"Menurutku cinta datang beriringan dengan kebahagiaan yang tercipta. Apa sekarang kita akan membicarakan cinta?"
"Kamu selalu menghindar jika membicarakan cinta. Kenapa?"
"Aku pulang saja kalau kamu teruskan."
"Jangan begitu... kamu harus tetap di sini sampai kopiku habis."
Kemudian dia hanya memandangku dalam diam. Aku bukannya tidak ingin membicarakan cinta, aku hanya tidak ingin membicarakan dengan dirinya. Dia membicarakan banyak hal dengan ku, membicarakan semesta, membicarakan teori-teori kehidupan, membicarakan sifat-sifat manusia, dan tak ketinggalan membicarakan cinta. Dia membicarakan segala hal denganku, tapi dia tidak pernah membicarakan kita.
***
Dan hal-hal yang tak kita bicarakan
Biar jadi rahasia
Menyublim ke udara
Hirup dan sesakkan jiwa.
Biar jadi rahasia
Menyublim ke udara
Hirup dan sesakkan jiwa.
tersentuh :3 yaampunn :'(
BalasHapuska tolong bantu komen blog sya dong buat penilaian di sekolah . makasih :)
:')
Hapusoke..
eang bener bahagia itu dengan melakukan yang disukai
BalasHapusiya, kan.. melakukan kegiatan yang kita suka, otomatis bikin bahagia :D
HapusKayak gue, dong.
BalasHapusApa yang kayak lu? Suka kopi cappucino juga? Atau suka membicarakan cinta? Atau suka modusin cewek-cewek di luar sana? XD
HapusNah, Ini bisa bikin cerita fiksi yang bagus, Wiii... Merendah dulu bilangnya nggak bisa bikin fiksi. bikin lagi, wiiii.... kalo bisa, ngelanjutin cerita iniiii.... :D
BalasHapusini.. ini cuma menceritakan cerita dibalik sebuah lagu, kok ._.
Hapus