Meracau
Saya baru saja tiba di rumah
sehabis jalan-jalan di tanah Pasundan, Bandung. Tapi bukannya merasa tenang dan
fresh saya malah merasa sangat gelisah dan sedikit merasa bersalah. Pikiran
saya meracau, dengan segala hal yang dipermasalahkan batin dan pikiran saya,
bukan sesuatu yang besar juga bukan sesuatu yang penting, karena saya bukan
siapa-siapa, saya hanya gadis cengeng yang egois.
Di sore itu sehari sebelum hari raya Idul Adha, ketika
saya sedang melepas sepatu untuk memasuki Masjid Raya Bandung, tidak sengaja
saya mendengar seorang bapak yang sedang berbicara dengan seseorang lewat
handphonenya, kata-katanya seperti menyentil saya, begini kata-katanya yang
saya dengar, “Maaf ya, bapak gak bisa pulang, gak punya ongkos buat pulang . .
.” kata-katanya langsung masuk dan berputar-putar di kepala saya. Ada seorang
bapak yang tidak bisa pulang berkumpul dengan keluarganya di hari lebaran
karena tidak punya uang untuk ongkos pulang, lalu apa yang saya lakukan? Saya
malah menghabiskan uang saya untuk “melarikan diri” ke Bandung, menjauh dari
keluarga saya. Tiba-tiba perasaan melankolis menyergap diri saya.
Perjalanan santai saya ke Bandung
menyenangkan tentunya, tapi rasanya seperti perjalanan penuh sejarah dan penuh
perjuangan. Mungkin terpengaruh dengan suasana cerita buku yang saya baca
selama perjalanan. Saya sedang membaca e-book yang saya pinjam di I-Jak
(perpustakaan digital milik pemerintah DKI Jakarta) yang tadinya saya lakukan
untuk memenuhi tantangan dari good readers Indonesia, selain memang sudah lama
saya sangat ingin membaca buku itu, e-book yang saya pinjam berjudul "Soe Hok-Gie . . . Sekali Lagi". Karena waktu peminjaman yang singkat sedangkan
halaman yang harus saya selesaikan ada kurang lebih 553 halaman dalam waktu
tiga hari, maka saya paksakan untuk mencicil membaca di tengah-tengah kegiatan
saya jalan-jalan di Bandung. Bahkan sampai saat ini pun belum selesai saya baca
dan segera saya perpanjang waktu pinjamnya.
Bukan bermaksud untuk
mendramatisasi, tapi kisah di e-book itu benar-benar menyita perhatian saya,
kisah seorang aktivis mahasiswa yang mati muda. Saya heran, kenapa saya
tertarik membaca hal-hal terkait politik dan sejarah seperti itu, tidak ada
rasa bosan malah rasanya ingin tahu lebih banyak. Ah, tapi tidak, saya tidak
mengerti dan tidak peduli dengan politik, juga tidak tertarik dengan
sejarahnya, hanya karena ada sosok Soe Hok Gie, maka saya tertarik untuk
membacanya.
Sejak dua tahun lalu saya
mendengar nama Soe Hok Gie dari seseorang yang terpaksa mengobrol dengan saya
ketika dalam perjalanan pertama saya mendaki gunung. Awalnya tidak terlalu
penasaran dengan namanya tapi setelah menonton filmnya berjudul "Gie" baru rasa ketertarikan
itu muncul. Entah mengapa semua kisah tentang dirinya begitu menarik dan ketika
membaca kisahnya seperti memancing pikiran saya untuk memikirkan banyak hal,
seperti saat ini. Semua yang terlintas dalam pikiran saya begitu mengganggu
karena tidak fokus dan rasanya seperti mengambang, rasanya ingin
membicarakannya pada seseorang supaya tidak lagi melayang-melayang di kepala
saya.
Kekaguman saya terhadap sosoknya
yang katanya idealis murni dan perjuangannya menegakkan keadilan, sosok patriot
sejati yang sempurna. Tapi saya lebih tertarik dengan sisi kemanusiaannya,
dengan sikap-sikap dalam kehidupannya, terlebih dirinya juga suka mendaki
gunung, kegiatan yang saat itu dan sampai sekarang menjadi kegiatan paling
menyenangkan buat saya.
Saya iri dengan orang-orang
seperti itu, iri dengan pikiran dan perhatian mereka yang luas, tidak seperti saya
yang hanya memikirkan diri sendiri, dan pura-pura sibuk dengan segala sesuatu
yang saya lakukan padahal tidak terlalu penting dan berguna. Saya iri dengan
sikap Soe Hok Gie yang menurut teman-temannya adalah orang yang sangat
perhatian, semua teman-temannya baik laki-laki atau perempuan sangat senang
berada di dekatnya karena merasa mendapat perhatian yang besar dari dirinya.
Saya terheran-heran bagaimana Soe Hok Gie membagi waktunya dan perhatiannya
antara kuliah, permasalahan ekonomi dan politik saat itu, hobi-hobinya,
keluarga dan teman-temannya. Sedangkan saya hanya sibuk dengan diri dan dunia
saya sendiri tidak peduli dengan yang lainnya apalagi masalah politik negeri
ini yang tidak saya mengerti, pun saya masih mengeluh ingin waktu untuk diri saya
sendiri.
Saya pikir-pikir mereka yang telah
beteman dekat dengan Soe Hok Gie adalah orang-orang yang beruntung, dengan
segala pemikirannya yang kritis, pengetahuannya yang luas dan sikap baiknya
memberi perhatian sama penuhnya kepada semua teman-temannya, saya juga ingin
dekat dengan sosok seperti Soe Hok Gie, atau kalau bisa memiliki rasa,
pemikiran dan sikap kemanusiaan seperti dirinya. Sebelumnya tidak ada yang saya
pikirkan selain tentang diri saya sendiri, apa yang telah saya lalui, apa yang
sedang saya lakukan saat ini, dan akan seperti apa masa depan saya. Hingga setidaknya
dua tahun terakhir perlahan-lahan saya membuka diri dan mulai memperhatikan
sekeliling saya, belajar memberikan perhatian saya kepada teman-teman dan
keluarga. Dan dua tahun terakhir ini setidaknya ada dua orang yang benar-benar
menyita perhatian saya.
Dimulai dari dua tahun yang lalu
saya mengenal seseorang yang secara tidak langsung mengubah cara pikir dan cara
menilai orang lain, juga beberapa aspek kehidupan saya. Seseorang yang
sebelumnya sama sekali tidak saya kenal dan belum pernah saya temui, tapi hanya
dalam waktu empat hari perjalanan mendaki gunung berhasil menerobos masuk ke
dalam kehidupan saya. Seseorang yang menunjukkan rasa peduli dan tidak ragu
menolong saya yang akhirnya saya ijinkan untuk masuk dan berperan dalam
kehidupan saya. Seseorang yang saya rasakan ketulusannya memberi perhatian,
nasehat, dan dengan senang hati membagi ilmu, pengalaman, cerita-cerita
menarik, serta canda gurau dengan saya. Pelan-pelan saya mulai semangat
berusaha untuk membentuk pribadi yang baik, juga mulai membuka diri untuk
menerima orang lain dalam kehidupan yang selama bertahun-tahun seperti
terisolasi.
Lalu kurang dari setahun terakhir
datang seseorang yang tidak saya sangka juga menerobos batas interaksi sosial
yang saya buat, menyita perhatian saya dan membuat saya sibuk sebagai tour
guide dadakan. Sosoknya begitu menyegarkan dalam kehidupan saya, memberi saya
sudut pandang baru dalam suatu hal, sama seperti ketika saya mengenal nama Soe
Hok Gie, membuat saya antusias menyelami pikiran saya lebih dalam dan memancing
saya mengungkapkannya. Meskipun belum sepenuhnya saya berhasil memperbaiki
hal-hal yang kurang baik dalam kehidupan saya, namun saya sangat bersyukur
dijinkan dan diberi kesempatan bertemu dan mengenal lebih dekat dengan mereka
berdua. Beruntung walau dengan sifat-sifat buruk dan sikap cuek saya yang sangat
menyebalkan, mereka tetap ada di sana, tidak sembunyi seperti yang lain. Sangat
menyenangkan saat-saat bisa mengobrol banyak dengan mereka, bertukar pikiran
membicarakan kehidupan yang begini-begini saja, entah kenapa dengan mereka
membicarakan hal-hal itu menjadi sangat menarik.
Saya berusaha untuk mengurangi
ego dan gengsi saya, biar bagaimanapun jarang sekali saya mengungkapkan apa yang
saya rasakan dan pikirkan, bahkan saya sendiri kadang tidak mengerti. Kalau
tidak saya tulis seperti ini mana mungkin mereka tahu apa yang saya sebenarnya
rasakan, gengsi saya masih terlalu tinggi untuk menyampaikannya langsung,
biarlah tulisan ini menjadi perantara. Sebenarnya saya sedang ingin terlibat
obrolan panjang yang mendalam dengan mereka, tapi akhirnya saya tuliskan saja, saya
sedang ingin banyak menulis.
Kegiatan mendaki gunung juga saya
rasakan turut mempengaruhi kehidupan saya, bertemu langsung dengan orang-orang
yang memiliki jiwa pemimpin yang cukup baik, membuka pandangan saya bahwa ada
banyak hal yang perlu saya perhatikan, bahwa dunia ini tidak hanya seputar kehidupan
saya dan keluarga saya saja, bahwa ada masalah yang sudah seharusnya saya turut
serta mencarikan solusinya. Tapi semuanya masih berputar-putar tidak karuan di
pikiran saya.
Awalnya memang saya hanya
ikut-ikutan teman mendaki gunung, namun setelah melewati perjalanan penuh
perjuangan yang luar biasa menyiksa itu, membuat saya merasa perjalanan mendaki
selanjutnya adalah hal yang saya butuhkan sebagai bentuk “meditasi”. Semuanya
bentuk penyiksaan diri ketika mendaki seperti, berjalan kaki berkilo-kilo meter
seharian sambil menggendong tas yang beratnya lebih dari tiga kg, menahan rasa
kantuk, haus dan lapar, kedinginan sampai ketulang-tulang di malam hari,
semuanya menjadi sangat menyenangkan. Sehingga saya sedih dan kecewa ketika
orang tua saya mulai menasehati saya untuk tidak naik gunung lagi, saya
mengerti bahwa kegiatan naik gunung bukanlah kegiatan main-main, ada nyawa yang
dipertaruhkan disetiap perjalanan mendaki gunung, saya mengerti perasaan ibu
saya yang was-was ketika saya pamit untuk naik gunung, memikirkan saya
sepanjang hari dan sampai tidak bisa tidur di malam hari terus berdoa dan
berharap saya baik-baik saja dan akan pulang dengan selamat.
Tapi inilah yang saya pilih,
menikmati perjalanan naik gunung yang menyiksa daripada perjalanan lainnya.
Saya merasa tidak cocok melakukan traveling santai seperti yang teman-teman saya
lakukan, sekedar mendatangi tempat-tempat yang sedang ramai dibicarakan lalu
berfoto sebagai bukti otentik telah menginjakkan kaki di tempat itu. Memang ada
sedikit perasaan untuk mengunjungi tempat-tempat itu, juga saya coba lakukan
seperti yang teman saya lakukan itu, namun tak ada rasa kepuasan yang sama
seperti yang saya rasakan ketika sedang mendaki gunung juga setelahnya. Saya
senang mendaki gunung karena saya mendapatkan saat-saat sepi untuk mulai sibuk
dengan pikiran saya sendiri, saya bisa benar-benar jauh dengan internet dan
smarphone, lalu kalau tidak ada pikiran yang memenuhi kepala, saya mulai
memperhatikan temen-teman seperjalanan berbagi cerita, tawa dan canda, bersusah
payah bersama melewati jalur terjal, saling membantu dan saling menjaga, saya
mendapatkan perasaan hangat yang menenangkan.
Anehnya saya merasa sederhana
ketika mendaki gunung, tidur di tenda dengan segala keterbatasannya, makan makanan
yang juga terbatas yang dibawa rombongan saat itu. Padahal kegiatan mendaki
gunung saat ini tidak lagi sesederhana jaman dahulu, jika jaman dahulu dengan dana
terbatas dan perlengkapan yang minim sudah bisa menenangkan diri pergi ke
gunung. Saat ini mendaki gunung sudah termasuk kegiatan yang mahal, sudah jauh
dari kata sederhana. Tapi menurut saya itu tergantung tiap individu, ingin
membuat kegiatan mendaki gunung suatu perjalanan yang sederhana atau tidak.
Akhirnya panjang lebar saya
menulis tidak jelas maksud dan tujuannya apa, inilah sebagian yang berputar-putar di pikiran
saya, meminta untuk dibicarakan satu per satu.
Jalan-jalan kesini cuma mau bilang kalo, saya juga kangen nanjak._.
BalasHapusyuk lah nanjak, buru packing xD
HapusSoe Hok Gie itu memang keren kak.
BalasHapusGie juga meninggal dalam pendakiannya.
Anyway, udah baca bukunya juga nggak?
belom, baru baca yang "soe hok gie sekali lagi", kumpulan tulisan orang-orang terdekatnya tentang dirinya
Hapus*Mumpung sempet komentar, sini tak kritiki biar geli*
BalasHapusPercobaan menggunakan kata "Saya" nya udah tepat kok, Wi. Mungkin pas ngetiknya berasa kaku, tapi bagi yang baca nyaman-nyaman aja kok.
Itu yang kejadian bapak-bapak, bikin hati iba. Sering banget dialami rangorang. Saat ada acara keluarga di rumah ketika hari raya, malah lebih milih pergi jalan-jalan ama orang lain. :( Tapi berharganya kehidupan. Kalo kata Soe Hok Gie, "...Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.."
Kalo kata juri stenap komidi, sebelum masuk ke materi berikutnya, mestinya dibikin bridge biar nyambung. Tapi kayaknya pas bagian mau mulai ngomongin Soe Hok Gie nya, kayaknya bridge yg dibikin "terlalu gede" deh, Wi. Tapi kan judul artikelnya meracau, yak... jadi ya gak apa-apa juga sih. xD
Kalo kamu iri dengan mereka yg bisa terus peduli meski tersakiti, aku malah iri denganmu, Wi, yang bisa cuek fokus pada diri sehingga meminimkan beban hati. :( dan lagi... kamu itu sosok yang peduli, loh. Setidaknya pada orang yg gapunya kartu buat naik Transjakarta (aku dan bapak2 kala itu). xD
Awalnya kupikir kamu malah bukan seorang introvert loh, Wi. Gegara sering baca di blog tentang banyak kegiatan dan perjalanan ama temen2mu. Kan masa iya seorang introvert betah bepergian ke mana-mana dan rame-rame gitu. xD
Itu seseorang yang mengubah cara berpikirmu, masih rutin dikunjungi tiap wiken, Wi? :D
Ya ampun, apa-apaan itu orang... dateng-dateng mendadak malah ngejadiin org lain sebagai tour guide. kalo ketemu lagi, jitakin aja itu, Wi.
Walo aku belom pernah naik gunung yang sesungguhnya, baru sebatas bukit. tapi saat naik gunung emang beneran bisa liat karakter orang2 sih. yang egois, lah. yang emosian lah. yang sabar. yang perhatian. padahal cuma bukit.
Lagian, bagi pengagum Soe Hok GIe, yang jelas tersisa darinya dan bebas dilakukan ya naik gunung itu. mau orasi dan demo besar2an udah gak dianggep. karena para penguasa tau, apa yg diteriakan hanyalah ungkapan ngerasa susah aja. gak ada hal yg bisa merusak kedudukan mereka. beda di zaman GIe, yang mana tiap ucapan para demonstran berarti pengungkapan misteri kejahatan mereka. Jadi.. yaudah, yang rajin naik gunungnya. Setidaknya, walo gak berperan dalam perbaikan politik dalam negeri, tapi sudah ikut memperbanyak jumlah orang yang tenang jiwa raga serta peduli sesama di negeri ini~
Waaa... komenku panjang banget. Padahal bukan orang deket, tapi malah banyak komentar. Kuberasa jadi Dementor. Tapi nggak apa, ya... kan kamu tau cara ngusir Dementornya~
"Patronus, Expecto Patronum!"
*kabur*
whoa.. bikin postingan sendiri gih, kak XD
HapusTerima kasih atas waktunya, kak ^^
bukan dementor lah, mungkin remembrall tepatnya, hehe