Aku Tidak Mau Hidup Seribu Tahun Lagi, Karena Kalau Tak Sembahyang Tak Ada Gunanya


Aku yakin tak satupun orang yang bercita-cita ingin hidup selama seribu tahun, tapi bisa-bisanya kamu berkelakar ingin hidup seribu tahun dan menyia-nyiakannya dengan memenuhi nafsu impulsifmu itu.

Bahkan aku mengenal seseorang (hanya dari tulisan dan sejarah) yang mengimani kata-kata dari seorang filsuf Yunani, lalu dengan santainya dia menulis di buku hariannya, bahagialah mereka yang mati muda. Entahlah itu menjadi cita-citanya atau bukan, tapi itulah akhir dari hidupnya, bahagia persis seperti yang ditulisnya di buku hariannya itu. Seorang idealis sejati yang hidupnya selalu resah dan terus memikirkan nilai kebenaran hidup sebagai manusia, namun bisa sangat melankolis saat ingat akan kematian. Seperti salah satu puisi yang ditulisnya, “Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku. Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya. Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.” 

Ah, benar, hidup ini terasa bosan jika tak ada tujuan. Apa tujuanmu beberapa waktu ke depan? Lulus kuliah, mendapat pekerjaan yang mapan, mencari pasangan hidup, menikah, punya anak, punya bisnis dan segala kelebihan materi lainnya untuk bisa diwariskan, lalu menua dengan bahagia. Begitu? Menyenangkan. Aku juga mau begitu.
Tapi aku bukan visioner, tak kupikirkan akan menua seperti apa. Hidup sebagai seorang introvert skeptis ini membuatku tak punya ambisi untuk menentukan hidup jauh kedepan. Melakukan hal-hal acak dan spontan terasa lebih menyenangkan untuk mengisi kehidupan. Seperti malas-malasan di Sabtu pagi yang gerimis, menghabiskan hari dengan menonton film yang sama berulang-ulang atau membaca buku atau tidur saja. Aku melihat betapa enaknya kehidupan kucing, tak peduli dimanapun, kapanpun, bebas tidur dengan berbagai posisi, tak ada yang menghiraukan.

Tentu aku lebih suka melihat kehidupan orang yang memiliki misi, seperti Soe Hok Gie. Entah apa yang ku lihat dari kehidupannya hingga sangat berkesan bisa “mengenalnya”, seorang yang agaknya angkuh. Saat usianya 16 tahun dia menulis bahwa kisah Romeo dan Juliet terlampau idealis, tak masuk akal, dan menjemukan, tapi tetap dia baca kisahnya. Aku setuju dengan ini. Kisah Romeo dan Juliet rasanya memang hanya omong kosong, karena bagiku rasa cinta antar manusia itu hanyalah sebuah nafsu, mengabaikan logika otak, mematikan pikiran.  Tak ada yang memikirkan bursa saham ketika sedang bercinta, kan? 
Aku tidak bisa fokus berpikir ketika sedang menyukai seseorang. Aku tidak tau, bagaimanapun aku hanya anak kemarin sore yang tak tau apa-apa tentang cinta, jadi kalian bebas jika ingin mendebatku.
Kembali pada apa yang ditulisnya itu, ada rasa kesal dalam tulisannya (aku bisa merasakannya bahkan jadi beneran kesal karena membaca tulisannya ini), dia kesal dengan temannya yang sok sastra dan mengklaim kalau pengetahuan temannya itu seperseratus pengetahuannya, lalu seperti menyombong bahwa sastra sudah tak ada apa-apa baginya , bahwa dia sudah mulai menyukai filsafat. Bahkan dia pernah mengejek gurunya hanya karena dia merasa hebat dalam sastra. Rupanya karena bacaannya sudah "naik tingkat", hampir saja aku menjadi angkuh begitu, untunglah tulisannya itu mengingatkanku, lagipula aku tidak pantas merasa begitu, pengetahuanku hanya seperti satu plankton dalam samudra. Tidak kelihatan.
Tapi apa semua kutu buku memiliki potensi untuk merasa angkuh begitu, ya?
Sudah ku temukan dua kutu buku yang terkadang suka pamer. Ah, iya. Aku tidak pantas menilai begitu, tidak mengenal banyak orang mana pantas menarik kesimpulan begitu.

Tapi jika mengenal beberapa orang saja bisa membuatku merasa mengerti macam-macam tipe, maka tak butuh banyak. Aku lebih suka mengenal satu orang secara personal. Walau terkadang sulit sekali untuk mengenal seseorang yang dunianya berbeda. Aku bisa saja kesal jika tidak berhasil berinteraksi dengan orang yang menarik perhatianku. Tapi karena skeptis itu tak jadi soal, memperhatikan dari jauh juga sudah cukup menyenangkan. Seperti ini, beruntung hidup di jaman serba online tanpa perlu menyingkirkan gengsi untuk bertanya sudah bisa mengetahui informasi pribadi dengan mudah. Jadi inilah yang kulakukan, mendengarkan musik yang kamu dengarkan, menonton film atau drama korea yang kamu tonton. Tapi aku kesulitan membaca buku-buku sastra yang kamu baca, bacaanmu terlalu tinggi buatku, jadi aku memilih membaca tulisan personalmu, itu saja butuh waktu lama untuk memahaminya, karena tulisanmu ya seputar apa yang kamu baca. Tak apa, karena kamu objek yang menarik bagiku, karena banyak pengetahuan baru yang kudapat ketika meneliti tentangmu.

Tapi, jika kamu ingin hidup seribu tahun lagi dan menyia-nyiakannya dengan membaca, maka aku ingin satu hari saja dalam seribu tahunmu itu, ketika cuacanya cukup bagus, untuk disia-siakan bersamaku. Setelah itu aku bisa melanjutkan membaca dirimu dari jauh saja.

Komentar