Gyeongseong, 1930
source |
Malam di saat masih mengalami block writer, dengan rasa penasaran mengikuti sosok dengan cahaya korek api di tangannya dalam kabut yang cukup tebal, sampai saat kabutnya hilang dan mendapati berada di tengah kota yang asing, semuanya tampak tua dan ketinggalan jaman. Lalu dalam kebingungan berlari dengan seseorang berpakaian laki-laki kasual yang ternyata adalah seorang gadis, kemudian berhenti di persimpangan dan melipir ke pojok dinding sebuah toko, dengan kode yang sangat membingungkan kami mulai berciuman.
Itu adalah cuplikan scene dalam drama Korea Chicago
Typewriter episode 3, maaf gue gak bisa menggambarkannya lebih detail dan
indah, karena kalo bisa, lebih baik gue buat cerita masterpiece sendiri
daripada menulis ulang cerita orang lain. Tapi untuk cerita ini gue rela berusaha
menuliskannya dengan rinci.
Satu lagi film drama yang membuat gue menemukan cinta pada
pandangan pertama. Adalah Seo Hwi Young, karakter yang langsung gue simpan di
hati saat pertama kali melihat visualnya. Terlepas dari fisik kerennya Yoo Ah
In, Seo Hwi Young menjadi sosok laki-laki nyaris sempurna.
Mari kita buat list:
Mari kita buat list:
-berasal dari keluarga tenaga medis
-sekolah kedokteran, walau tidak sampai lulus
-seorang penulis
-kalem
-idealis
-bergabung dalam aliansi pemuda pejuang kemerdekaan
-patriotik
-mahir menggunakan senjata api
-and top of all, dia adalah pemimpin aliansi
Belum lagi visualnya dengan tatanan rambut yang agak
berantakan tapi pas menawan, pakai kacamata, pakaian vintage lengkap dengan
suspender, tatapan mata yang tenang tapi penuh visi dan ambisi, gaya bicara
yang juga tenang dan terkadang cuek, plus wajah Yoo Ah In dan dibantu dengan
make up. Sempurna? Sayangnya tidak. Seo Hwi Young hanya tokoh fiksi.
Tapi gue teringat sosok yang nyata, dia kuliah di fakultas ilmu keperawatan, penggiat literasi, aktif menulis di beberapa media, rasanya agak idealis, introvert, kata-katanya kadang terkesan pro kapitalis tapi mungkin mengandung satir. Nyaris jatuh cinta dengan sosoknya, tapi gak jadi, soalnya dia ngidol, sepertinya sone garis keras.
Kembali bicara tentang Chicago Typewriter, ceritanya membawa
angin segar, mungkin konsepnya mengikuti drama sukses pendahulunya, Goblin,
tentang reinkarnasi. Sayangnya rating di Korea sana gak ngikutin Goblin, meski
begitu Chicago Typewriter menjadi cerita drama yang unik dan indah bagi gue.
Pernah terbayang kisah cinta segitiga pada saat negaranya
masih dijajah menjadi dasar cerita sinetron?
Film-film tentang perjuangan yang gue tonton hanya fokus
pada jerih payah merebut kemerdekaan, penuh jiwa nasionalis dan patriotik,
cinta hanya selingan.
Lalu drama ini muncul mengusung tema fantasy, romance,
comedy, mystery, history, paket lengkap yang sayang untuk dilewatkan. Awalnya mengeksplorasi
kehidupan penulis terkenal masa kini yang terkena block writer, tiba-tiba ingat
dengan kehidupan sebelumnya dan terpaksa hidup bersama dengan hantu dari 80
tahun yang lalu untuk menyelesaikan sebuah novel. Dan sisipan cinta segitiga
yang tragis, di antara Seo Hwi Young, Shin Yul dan Soo Hyun tidak ada yang
mencapai kebahagiaan yang merdeka, ketiganya mati dengan patah hati jauh
sebelum Joseon merdeka. Dan simpati terbesar ditujukan kepada Shin Yul yang
menjadi korban dari cinta segitiga ini, meski Hwi Young dan Soo Hyun juga
saling memendam rasa cinta, setidaknya mereka sempat saling menyampaikan.
Sungguh luar biasa para pejuang kemerdekaan yang mengorbankan perasaan dan
segalanya untuk kemerdekaan negaranya. Kita harus bersyukur dan berterima kasih
pada mereka, karenanya, saat ini, di negara yang sudah berdaulat ini, kita bisa
menikmati saling mencintai tanpa harus memikirkan nasib negara.
Untuk para kutu buku akan dimanjakan atau lebih tepatnya
dibuat iri dan dengki dengan scene-scene yang memperlihatkan bookshelf di
rumah, ruang kerja, kamar tidur para tokoh, dan buku-buku yang menggantung di
langit-langit sebuah café. Juga meyakinkan para fangirl untuk jangan pernah
menyerah pada idolanya, karena mungkin saja sudah ditakdirkan untuk berjodoh.
Untuk gue, melihat suasana Seol pada jaman dibawah jajahan
Jepang . . . bikin merinding, teringat dengan para pejuang Indonesia yang juga
pernah melawan habis-habisan tentara Jepang. Jujur gue lebih menikmati ketika
setting cerita di tahun 1930, Korea rasa Eropa, bangunannya, pakaiannya, indah
memanjakan mata. Lalu kontras terlihat wanita-wanita dengan kimono berlalu-lalang,
dan beberapa dialog dengan Bahasa Jepang. Terlebih ketika Soo Hyun dengan
fasihnya berbicara dengan bahasa Jepang.
Transformasi drastis Soo Hyun yang berhasil membuat gue terpukau
dengan acting Im Soo Jung, gak hanya penampilan pun juga dengan gestur. Ketika
scene Soo Hyun menyanyi di atas panggung, gerakan kecil dan senyumnya yang
sudah sekelas geisha level tinggi, eh, kalo di Korea disebut gisaeng. Dari
gadis tomboy dengan pakaian laki-laki, ke gadis cantik dengan dress nan anggun,
dari sniper ke gisaeng, dari yang cekatan pegang pistol ke yang anggun
memainkan kipas. Dan gak ketinggalan lagu ‘The Wind Blows’ yang dinyanyikan Soo Hyun,
yang berputar di kepala membuat gue terus bersenandung.
source |
Bromance yang dihadirkan oleh Shin Yul – Hwi Young maupun Yoo Jin – Se Joo cukup menarik dan sayang untuk dilewatkan. Sekali lagi gue sampaikan simpati untuk Shin Yul, karena selain menjadi korban cinta bertepuk sebelah tangan, juga karena menjadi satu-satunya yang tidak reinkarnasi dan malah terjebak dalam mesin ketik sebagai hantu. Akting Go Gyung Pyo saat sebagai pejuang maupun saat sebagai hantu bisa diakui sangat-sangat menghibur dengan segala ekspresinya.
Kata-kata dari seorang penulis dan pemimpin aliansi, Seo Hwi Young yang sangat, katakanlah sangat keren, pidato yang ditulisnya sendiri dan dibacakan oleh Shin Yul saat sebelum menjalankan misi besar. Juga idealismenya sebagai penulis, "My homeland may be lost, but my words will not be taken away from me. If I cannot write, I am no different from a ghost. In a liberated Joseon, I will madly write whatever I wish."
Dari semua itu ijinkan gue tutup dengan tampilan terbaik Seo Hwi Young di akhir hidupnya.
Terima kasih kepada Jin Soo Wan yang telah menuliskan cerita yang unik, indah dan menarik, yang terkadang membuat gue merinding ketika menonton scene para pemuda yang berani mati untuk kemerdekaan negaranya, terima kasih kepada penata music, Nam Hye Seung sehingga setiap scene menjadi memorable dengan back song lagu-lagu yang membawa nostalgia, juga terima kasih kepada PD Park Sang Chul yang dengan sukses membawa kembali suasana Kyeongseong tahun 1930. Gue pribadi sangat menikmati selama menonton.
Sekian.
ps: reff untuk fangirl : https://yooahinsikseekland.wordpress.com/2017/06/13/chicago-typewriter-finale-appreciation-post-part-2-yoo-ah-ins-seo-hwi-young-fever/
Mestinya itu nama Seo nya ditaro belakang, dan jadi Hwi Young Seo. Biar mirip2 namamu, Wi. xD
BalasHapusItu akhirnya dia bunuh diri apa gimana? Kok ngarahin pistol ke kepalanya sendiri? *lalu nyari spoiler*
Saat ini lagi tak tertarik nonton film/drama/anime apa pun. Entah kenapa lagi gak mood buat nonton. Entar kalo udah muncul keinginan buat nonton, boleh lah ini drama dipertimbangkan. Gabanyak romance2nya kan.
Ahahahaha, maksa ajah xD
HapusIya, karena udah terdesak, dia lebih milih bunuh diri daripada ditangkap hidup-hidup sama pihak Jepang. Banyak yang bilang drama ini kurang banget romancenya, lebih fokus ke kisah cinta yang terhalang misi kemerdekaan, ngenes-ngenes gemes gitu, hahaha
Coba aja tonton, intinya tentang persahabatan, cinta dan penghianatan gitu lah.
foto terakhirnya...... cakep banget.......!
BalasHapuskayaknya bakal masuk list nih.
Iya. Pesona poni yang nutupin mata xD
Hapus