Jejak [2]
Seratus meter dari
Taman Ismail Marzuki ada sebuah kedai Piza yang sudah masuk bulan ke sebelas
dari pertama kali dibuka, tempat yang cukup berpotensi untuk sebuah kedai
makan. Karenanya dari hari ke hari selalu ada perkembangan meski sedikit,
orang-orang yang bekerja di kedai ini cukup tangguh menjaga semangat bekerja
setiap harinya. Tapi malam ini di beranda lantai tiga kedai ini, Pras sedang
ingin bermuram setelah mengobrol dengan ibunya di Semarang lewat telepon
beberapa menit yang lalu.
“Hoy, ngopo koe
nglamun?
Pras menoleh ke arah
sumber suara yang tidak lain adalah temannya, Fathur, memberi senyum masam dan
kembali menatap pohon dalam kegelapan. Fathur duduk di sebelah Pras dan ikut
menatap ke arah kegelapan.
“Tadi ibu telepon, Fat.
Masih kuatir sama keadaan mbak Galuh. Aku yo kuatir karo mbak Galuh tapi lebih
kuatir karo ibu.”
“Belum move on, ya, mbakyumu?”
Mencoba mencairkan
suasana Fathur berusaha untuk menggoda temannya yang sedang gundah dan hanya
mendapat lirikan sedih dari Pras. Galuh, kakak perempuan Pras yang sedang
berusaha bangkit setelah terpuruk karena ditinggal pergi oleh calon suaminya
yang sebelum pergi sempat nyaris menampar Galuh.
“Aku juga kuatir sama
ibumu, Pras. Kalo ibumu terlalu mikirin mbakyumu itu, terus stress, terus ambruk,
opo ora kacau nek ngono? Terus juga mikirin kamu di Jakarta, bukannya ndang
golek gawean yang mapan malah nganter-nganter piza. Piye jal?”
“Yo aku juga lagi cari
kerjaan yang mapan, Fat. Kan, sementara gini dulu sambil nunggu kabar dari pak Abdul,
nunggu kabar proyek terbarunya di Malaysia itu.”
“Proyek opo? Proyek
kandang kelinci? Hahaha.”
“Ck, kualat nanti
kamu, Fat, ngeyek drafter kayak aku ini.”
“Tapi… makasih, yo,
Fat. Udah mau nampung aku di sini, ngasih kerjaan juga. Semoga bisnis pizamu
ini sukses dan makin besar.”
“Amin.” Fathur mengamini
doa teman dekatnya itu.
“Tapi aku bingung Fat,
moso udah jadi bos gini kamu masih tinggal di loteng tempat bisnisnya…
sumpek.”
“Iyo, sumpek soalnya ono
koe. Bos opolah… Sementara di sini aja, sambil nabung buat beli apartemen di
Meikarta.”
“Halaaah…” Pras sudah
tidak terlihat muram lagi.
"Coba aja Galuh mau
sama aku dari dulu, yo, Pras… pasti gak akan seberat sekarang.” Setelah
keheningan beberapa menit, Fathur mulai membuka obrolan lagi.
Pras menoleh ke arah
Fathur dan menepuk pundaknya, “Coba aja kamu dari dulu itu tetep di sekolah
buat jadi calon PNS, Fat… dengan bayangan akan ada masa depan mungkin mbak Galuh
akan mempertimbangkan.” lalu memberikan senyum meledek.
“Asem! ora ono
urusane. Memangnya kalo sekarang ini gak ada masa depan? Kamu ini sebenarnya
dukung aku karo Galuh opo ora, toh?”
“Ahahahaha…” Pras bangkit
menuju tempat tidurnya meninggalkan Fathur yang sudah agak kesal.
* * *
Siang kali ini cukup
sibuk di kedai Pop Pizza ketika matahari dengan semangatnya bersinar.
“ … Oke, mas.” Fathur
menutup telepon dan menyelesaikan tulisannya di sebuah buku catatan lalu
merobeknya.
“Pras, anter ke alamat
ini, ya.” Fathur memberikan selembar kertas bertulisan alamat lengkap tempat
kemana pesanan piza harus diantarkan.
Pras menerima kertas
itu dan membacanya dengan teliti, “Jl. Dharmawangsa… oh, ini kantor media,
ya?”
“Iya. Nih, ada enam
dus, ya.”
“Siap, bos.” Pras membawa
dus-dus piza itu ke tempat parkir motor, menatanya di box yang menempel di
bagian belakang motornya, memakai helm dan bersiap untuk berangkat. Sebelum
berangkat ia membaca kembali kertas yang diberikan Fathur sebelumnya dan mengeluarkan smartphonenya, lalu mengetikkan alamat tujuan di google maps pada
smartphone miliknya sebagai panduan perjalanannya.
Sementara di kantornya
Alia terlihat sedikit aneh, tidak seceria biasanya.
“Umm, Al… lo gak
apa-apa? Something wrong?” tanya seorang temannya.
“Eh, hah? Gak… I’m
fine, it’s okay.” Alia mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding.
“Kayaknya gue cabut
sekarang, deh, ya.”
“Mau kemana?” tanya
Dani
“Kerja.”
“Harus sekarang
banget? Gue lagi pesen piza, bentar lagi sampe, kok.”
“Ya udah, lo sisain aja
buat gue, atau pesen lagi nanti khusus buat gue, okay?”
Dani melengos dan
kembali ke layar laptopnya.
Alia berjalan agak
terburu-buru keluar dari kantornya, membuka pintu dan terus jalan dengan
pandangan lurus ke depan sehingga tidak memperhatikan pengantar piza yang
berjalan perlahan sambil fokus pada sebuah kertas di tangan kirinya dan menenteng tas besar berisi piza di tangan kanannya.
Untung saja Alia tidak
sempat berpapasan muka dengan pengantar piza itu yang ternyata adalah Pras.
Dua bulan sebelumnya…
"Pras! Last
order, nih"
"Walah... jam
segini isih ono sing order?"
"Jl. Pangadegan
Utara. Apartemen Grimmauld Place lantai 12 no.44 B."
"Adoh e, Fat.
Yang lain gak ada?"
"Gak ada. Ucup
udah pulang."
Dengan langkah berat
Pras mengambil piza yang harus diantar lalu keluar menuju tempat parkir motor.
"Mbak Ira, Pras,
namanya!" teriak Fathur sebelum Pras Menutup pintu.
Berbekal panduan google maps di
smartphonenya, dan beberapa kali menguap menahan kantuk, Pras memacu
motornya dengan kecepatan 50 km/jam tanpa hambatan di jalanan
Jakarta yang sudah mulai lengang.
"Malam, mbak Ira,
ya? Ini pesanan pizanya."
"Oh, iya."
"Maaf mbak, agak
lama, saya sempat bingung cari nomornya tadi," jelas Pras sembari memberikan piza dan
bon.
"Iya, gak apa-apa,
mas, memang agak membingungkan, sih, buat yang pertama kali ke sini. Ini uangnya."
Pras menerima dua
lembar uang seratus ribu, lalu mengambil dompet dari saku celananya hendak
memberikan uang kembali.
"Gak usah kembali
gak apa-apa, mas."
"Gak, mbak. Ini
ada kembalinya, kok. Sebentar."
Setelah transaksi
dengan pemesan piza selesai Pras pergi menuju basement tempat ia memarkirkan
motornya. Pras duduk di motornya yang sedang diparkir, mengeluarkan sebatang
rokok dan korek gas, pikirnya ia akan menghabiskan sebatang rokok sebelum
melanjutkan perjalanan kembali ke kedai, sekedar untuk mengusir kantuk. Baru
saja akan menyalakan rokoknya, Pras dikagetkan oleh seorang perempuan yang
berlari dari arah tangga. Perempuan itu adalah Alia, dengan napas
yang tidak beraturan dan raut muka yang sangat ketakutan Alia berlari sambil
mendekap sesuatu di dadanya, ketika sudah di lantai parkir bawah ia
memperlambat langkahnya dan menoleh ke belakang lalu lanjut berlari.
Pras yang melihat
dengan jelas wajah cantik dengan raut ketakutannya Alia, membatin, mbaknya kenapa, ya, ketakutan gitu, jangan-jangan… habis lihat setan!
Pras langsung
menyimpan rokok dan korek gasnya, buru-buru menyalakan motornya dan secepatnya
pergi.
Keesokan malamnya,
Pras sedang membuat kopi, melihat Fathur yang sedang menonton tv dengan serius,
akhirnya bergabung duduk di sebelah Fathur dan ikut menonton sambil menyeruput
kopi yang baru dibuatnya.
“Pras, ini kan, tkpnya di tempat kemarin malam kamu antar piza. Gak ada heboh-heboh apa kemarin?”
“Di apartemen Grimmauld
Place itu? Gak, ah, gak ada apa-apa kemarin.” Pras mencoba fokus dengan berita
yang sedang disiarkan di tv, dengan judul berita,
Pembunuhan Terhadap Pemilik Pabrik Es, Pelaku Masih Buron
Apartemen Grimmauld Place, Jakarta Selatan
… jenazah ditemukan pukul empat pagi di parkiran mobil lantai dua oleh satpam apartemen yang langsung melapor ke polisi. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh pihak rumah sakit, perkiraan korban meninggal pada malam harinya sekitar pukul sebelas malam. Karena tidak adanya saksi mata dan kamera cctv di sekitar lokasi kejadian, polisi kesulitan mencari petunjuk tentang pelakunya …
Mendengar berita yang
dibacakan oleh pembawa berita itu, Pras mencoba mengingat-ingat sesuatu, lalu sibuk
dengan pikirannya sendiri.
Kalo perkiraan pembunuhan terjadi di sekitar jam sebelas malam,
berarti itu sama pas aku sampai di apartemen itu untuk mengantar piza. Tapi kayaknya
pas itu gak ada yang aneh-aneh, dari aku dateng sampai aku balik gak ada
apa-apa. Eh, pas aku mau balik… mbak yang ketakutan itu! Jangan-jangan…
-- o O o --
Hai,
Ini adalah cerita bersambung yang gue buat bersama Nika, sebuah tantangan bagi gue yang gak pernah bikin cerita, agak susah, ya, hehe hehe. Terima kasih buat Nika yang udah dukung gue buat mencoba hal yang baru, jadi mohon maklum kalo tulisan gue begini adanya.
Terima kasih yang udah menyempatkan waktu buat baca, minta pendapatnya, ya, juga kritik dan masukannya tentang cara penulisannya yang benar. Buat lanjutan ceritanya bakal ada di blognya Nika di nkrakasiwi.blogspot.co.id
....rt 2 nya ini udah mulai mengenalkan karakter lainnya yg jadi sorot utama. deskripsi keadaannya juga udah lumayan terbayang, dan konfliknya tenryata thriller njirrr.. kirain berdasarkan part 1 bakal ttg roamnsa2 karena berbau oppa2...
BalasHapusoke, karena masih belum jelas dan belum ada clue, jadi nungguin lagi lah ini lanjutannya. btw, pembunuhan pemilik pabrik es itu kan yg pertengahan tahun kemaren itu ya...
klo penceritaannya, gabisa menilai harus gini gitu. palagi ini sambung2an ama penulis lain, selama enak dibaca, gak ada masalah kok.
prolog part pertama kurang thriller, ya?
Hapusaku juga nungguin kelanjutannya, aaaak... nerpes
paling gak tanda baca dan penulisan kata-katanya, gitu ...
well, terima kasih udah baca dan kasih komentar :D
Belooooommmm... kupikir pembunuhannya hanya jadi selingan yg sama2 tau tapi gak ada kaitan ama mereka. Sekedar ngeliat gitu lah. Kan ada itu FTV yg ada pembunuhan di jalan, terus karna pemeran cewek cowoknya kebetulan lewat situ, jadi mereka ditahan. Nah kisahnya itu terjadi di lapas sampe ending. Isinya ya rokansa juga. Dikeluarin pas pembunuh aslinya ketangkep. -__-
HapusAhahah... yg begitu biar Nika yg ngasi saran atau ngebenerin. Sebagai pembaca saya menikmati aja~
Referensi tetep ya, FTV, hahaha..
Hapushai... pada nungguin lanjutannya, ya? sabar, ya.. Alia lagi belanja dulu ke pasar wkwkwk
Hapus