Jejak [4]
Cerita sebelumnya ...
Pras kembali ke toko dengan beban pikirannya tentang peristiwa pembunuhan yang dibicarakan orang-orang tadi. Suasana toko cukup sepi, tak banyak orang yang datang membuat para pekerja bisa sedikit santai.
“Iya, baik, bu.
Oke… terima kasih.” Fathur menutup telepon dan menyelesaikan catatannya pada
selembar kertas.
“Pras, bisa
tolong antar ke daerah Slipi?”
“Pras …” yang
dipanggil masih sibuk dengan pikirannya sendiri, “Hemh, Cup, lagi sibuk, gak?
Tolong antar ke daerah Slipi, ya. Nih, alamatnya.”
“Siap, bos.”
Jawab Ucup dengan sigap.
Melihat ada
yang tidak beres dengan temannya, Fathur mendekati Pras dan mencari tahu, “Pras
… ngopo sering ngelamun?”
Masih dengan
tatapan kosong ke arah meja Pras menjawab, “Mbak-mbak itu …”
“Cantik?”
“Iya”
“Kamu suka?
“Hmm, tapi dia
…”
“Apaan, sih,
Fat?!” Pras akhirnya terlepas dari pikirannya dan menoleh ke arah Fathur dengan
wajah yang kesal.
“Kamu itu yang
apaan ... kenapa? Habis dijutekin sama mbak-mbak cantik tadi di jalan?” ledek
Fathur.
“Ck. Eh, Fat,
Kebenaran itu harus diungkapkan, kan? Bahwa yang bersalah itu udah seharusnya
dihukum, kan?”
“Ng … kenapa
tiba-tiba … Pras, tentang mbah kakung, menurutku udah gak usah diperkarakan
lagi, udah ikhlasin aja ..”
“Bukan… bukan
tentang si mbah. Ya, meskipun aku masih gak terima pembunuh mbah itu bila lolos
gitu aja. Tapi ini tentang pembunuhan di apartemen yang beritanya kita tonton
malam itu. Sampai sekarang pembunuhnya belom ketangkep, kan? Karena gak ada
saksi dan petunjuk yang tertinggal. Gimana kalau sebenernya ada saksi tapi dia
gak lapor, karena … karena mungkin dia takut, ragu dan bingung sama situasinya,
shock … aku yakin pasti ada saksi yang tau siapa pembunuhnya dan kita gak bisa
diam aja, kan? Biar gimanapun kebenaran itu harus diungkap, karena ini
bener-bener gak adil buat keluarga korban kalo pembunuhnya gak ketangkep, iya,
kan?”
Fathur menatap
temannya itu dengan aneh, “Pras … kamu kebanyakan nonton Detektif Conan.”
Fathur menggeleng-gelengkan kepala, pikirnya temannya ini sudah terobsesi untuk
menjadi detektif yang memecahkan masalah-masalah sulit, tak terlalu menanggapi
serius ocehannya Fathur meninggalkan Pras untuk kembali bekerja.
***
Pagi yang biasa
di kantor Sinar Dunia TV, belum terlalu ramai dan hanya ada 5 karyawan yang
sudah datang. Salah satunya Dani yang sedang berada di ruangan rapat, terlihat
berbicara serius dengan seseorang lewat telepon.
“Lo yakin dia
orangnya? Gak bisa asal singkirin, gue ingetin lo. Jangan nambah masalah jadi
rumit. Oke, gue bakal pastiin dulu, kalo bener itu dia … bakal langsung gue
beresin.” Dani mengakhiri percakapannya di telepon, menatap jendela dengan
wajah yang serius.
“Wah, wah …
Miss Alia hari ini tidak terlambat!” kelakar Dani yang keluar dari ruangan
rapat dan melihat Alia sudah tiba di kantor lebih awal. Alia hanya memberikan
senyuman simpul kepada Dani dan langsung menuju tempat duduknya
“Hmm, apa gue
harus beliin lo piza, nih? Ini jarang-jarang lo dateng lebih pagi, apa mau
hujan, ya, hari ini?” ledek Dani.
“Well, makasih,
ya, buat sambutannya. Dan tolong minta topping kejunya yang banyak di pizanya,
ya … sama saosnya juga minta yang banyak.”
“Ckck ckck …”
Dani hanya menanggapi dengan decakan dan gelengan kepala kemudian menuju meja
kerjanya.
Alia datang
lebih awal ke kantor bukan tanpa alasan. Peristiwa pembunuhan kelam yang ia
saksikan dan tanpa sengaja ia rekam waktu itu benar-benar meninggalkan trauma
tersendiri. Bagi Alia ini adalah masa yang sulit dan ia merasa tidak tenang
dengan kehidupannya saat ini. Seseorang yang ia tidak tahu siapa dan ia yakini
adalah orang jahat sudah mengetahui keberadaan dirinya dan mulai meneror,
karenanya beberapa waktu yang lalu Alia repot-repot mencari apartemen baru dan
segera pindah. Di saat seperti ini berdiam seorang diri di suatu tempat mulai
membuatnya tidak merasa aman, bahkan di apartemen yang ia tinggali. Meski
kantornya juga bukanlah tempat yang dirasanya aman, tapi setidaknya ada banyak
orang yang ia kenal dan ia percaya akan membantu dan melindunginya di sini.
Sesaat Alia berkeinginan
untuk mendiskusikan masalahnya kepada rekan-rekannya di kantor, untuk mencari
dukungan sekaligus perlindungan, terutama ia akan meminta saran dari Dani.
Namun, ia masih memikirkannya dengan hati-hati, apakah lebih baik langsung
melapor ke pihak yang berwenang dan meminta perlindungan atau apa tak masalah
jika rekan-rekannya tahu terlebih dulu. Alia sangat bingung dan takut untuk
menghadapi masalahnya, terlalu ragu untuk bertindak.
Seharian Alia
dan Brigitta berada di luar kantor melaksanakan tugasnya, meliput
keadaan-keadaan yang bisa dijadikan berita. Di tengah suasana demo terkait
kasus pembunuhan yang belum juga ditetapkan tersangkanya dan rasanya sudah
cukup membuat Alia muak.
“Oke, sip!”
teriak Alia kepada Brigitta sembari membereskan kameranya.
“Eh, Bergetar,
kita istirahat dulu. Lo jaga dulu di sini, ya, gue mau cari minuman.”
Tetapi Brigitta
malah pergi meninggalkan Alia.
“Woy, mau
kemana? Tar … buset gue dicuekin.” Alia mengikuti Brigitta dan meraih
lengannya, “Eh, lo mau kemana?”
“Eh, sorry … Lo
ngomong sama gue? Gue gak denger, ya, lo manggil gue.” jawab Brigitta sinis.
“Hah? … Oke,
Gita … lo tunggu sini, ya, deket mobil sini jangan ke mana-mana, nih jagain
kameranya, kalo ada yang rusuh lo langsung rekam aja, ya, gue mau cari minuman
dulu.”
“Oke.” Jawab
Brigitta dengan senyum kemenangan.
Alia langsung
melesat jauh menuju stand penjual kopi dekat halte. Alia ingin menenangkan diri
lepas dari hiruk pikuk demonstrasi dan berusaha duduk santai sembari menyesap
kopi.
Sementara Pras
dalam perjalanannya kembali ke toko sehabis dari mengatar pesanan piza, melihat
keramaian demonstrasi dari kejauhan ia berniat untuk istirahat sejenak sebelum
berhadapan dengan kemacetan. Pras memperlambat laju motornya lalu menepi ke
pinggir jalan. Setelah memarkirkan motornya di tempat yang sebenarnya bukan
tempat parkir, Pras berjalan menuju stand kopi dan hendak memesan segelas kopi.
Dan ketika ia melihat seseorang yang ia kenali, jantungnya langsung berdegub
kencang, pikirannya berkecamuk tentang keadilan dan kebenaran. Pras berusaha
menenangkan diri, lalu mulai meyakinkan dirinya sendiri, ia memberanikan diri
mendekati orang yang ia kenali tersebut.
“Dua bulan yang
lalu, di apartemen Grimmauld Place, sekitar jam sebelas malam di parkiran
mobil. Tragedi itu, mbak pelakunya, kan?” tanya Pras pada orang yang sedang
duduk tepat di depannya, yaitu Alia, suaranya lirih memastikan hanya Alia yang
dapat mendengarnya.
Alia kaget
setengah bengong melihat orang yang berdiri tepat di depannya, mencerna
kata-kata orang di depannya yang meski terdengar lirih tetapi terasa seperti
suara klakson dari berbagai kendaraan di tengah kemacetan, membuat kepalanya
sesak dan pusing. “Hah? Apa?”
“Mbak yang
melakukannya, kan?”
Alia berdiri,
merasa terganggu juga sedikit takut, “Melakukan apa? Maaf, mas ini siapa, ya?
Kenapa asal menuduh orang sembarangan?”
“Saya tau
mbaklah orangnya, harusnya mbak menyerahkan diri, apa gak ada rasa bersalah
sedikitpun?” kata Pras masih dengan suara lirih, dalam hatinya ia mengutuk
dirinya sendiri tersadar tindakannya adalah bodoh karena menasehati seorang
kriminal seperti menasehati bocah yang bolos sekolah.
“Heh, lo tuh
mabok apa gila, sih?” Alia mulai merasa kesal dan hendak pergi, tetapi Pras
berhasil mencengkeram lengan Alia dengan kuat. “Apa-apaan ini? Lepasin.” Alia
semakin panik namun, mencoba untuk menjaga suaranya, mencoba untuk tidak
terlalu menarik perhatian di halte. Alia benar-benar bingung atas situasinya
saat ini.
“Denger, ya, lo
bisa gue tuntut karena udah nuduh gue sembarangan dan melakukan kekerasan kayak
gini.”
“Saya yang akan
menuntut mbak karena telah membunuh orang.”
“Heh, sakit lo,
ya? Lo tuh gak bisa asal tuduh orang sembarangan, itu perlu bukti, bukti. Lo
punya bukti apa nuduh gue gitu?”
Pras
benar-benar menyadari kebodohannya, Alia benar, ia tidak punya bukti apapun
yang menjelaskan bahwa Alia itu adalah pembunuhnya. Pras melepaskan
cengkeramannya dan terdiam.
Alia segera
pergi setelah terlepas dari cengkeraman, dan mengumpat “Shit, orang gila.”
“Tapi malam itu
saya melihat mbak dengan jelas lari ketakutan menuruni tangga menuju basement!”
kata Pras cepat sebelum Alia semakin jauh.
Alia tercekat
mendengar kata-kata Pras. Jangan-jangan
dia orang yang neror gue itu. Alia mempercepat langkahnya dan akhirnya
berlari.
“Git, buruan
masuk mobil! Kita cabut sekarang.” Kata Alia kepada Brigitta dengan nafas yang
terengah-engah.
“Lo kenapa,
Ya?”
“Cepet masuk
mobil!”
Alia
mengemudikan mobil dengan perasaan yang takut dan panik, dan juga kesal ketika
akhirnya terjebak kemacetan.
“Shit … Shit …”
umpat Alia, lalu menggumamkan racauan tak jelas, “… dasar cowok gila.”
“Jadi … lo
habis ketemu cowok?”
“Iya, cowok
gila.” Jawab Alia dengan pandangan kosong lurus ke depan.
“Terus dia
ngedeketin lo?”
“Iya, tiba-tiba
aja gitu”
“Ganteng?”
“Ya, lumayan.”
Kemudian Alia tersadar, dan menoleh cepat ke arah Brigitta “Apa, sih,
bergertar?! Gue lagi kesel, nih.”
“Ih, kok, lu
malah marah-marah ke gue, sih? Gue kan, gak tau apa-apa.” tanya Brigitta
kebingungan dan agak takut.
“Arghh! Gue
tadi itu dikejar-kejar orang gila!”
“Hah? Orang
gila? Siapa? Orang gila beneran? Kok bisa?”
“Orang gila
pokoknya, duh, parah, deh. Eh, tukeran dong, lo yang nyetir, gue lemes, nih,
masih panik gue.”
“Ya udah,
sini.”
Setelah
berhasil melewati kemacetan yang memang sudah menjadi keseharian di jalanan
ibukota, Alia dan Brigitta akhirnya sampai di kantor setelah matahari terbenam.
“Eh, udah pada
balik?” Sambut Dani ketika Alia dan Brigitta memasuki ruang kerja.
“Ada piza, nih.
Dimakan, ya, gue beliin khusus buat kalian, karena udah kerja keras hari ini.
Piza dengan extra topping keju juga extra saos.”
“Wah, makasih,
ya bos, harusnya tiap hari, nih, kayak gini.” Brigitta memberi komentar sembari
mengambil sepotong piza.
“Tiap hari …”
lirik Dani sinis.
“Hmm, ada apa
ini dengan Miss Alia kita, kayaknya dari tadi pagi kurang semangat, ya? Dari
kemaren-kemaren juga kayaknya.”
“Tau, tuh,
Alia. Akhir-akhir ini emang agak aneh. Tadi juga, lari-lari dikejar orang gila
katanya.” Brigitta menanggapi Dani.
“Hah? Orang
gila?”
Alia terus
memikirkan kegundahannya sambil melahap piza. Ia pikir mungkin ini saat yang
tepat untuk mendiskusikannya dengan rekan-rekannya. Ia menatap Dani dan
Brigitta bergantian lalu memberi kode untuk mendekat karena Alia ingin
menceritakan sesuatu yang rahasia. Alia kemudian menceritakan pengalamannya di
malam kelam ketika kejadian pembunuhan itu terjadi, juga orang misterius yang
menerornya lewat pesan singkat, juga orang yang baru saja ia temui dan
menuduhnya sebagai pembunuh.
“OMG, Alia …”
Brigitta sangat terkejut mendengar cerita Alia, ikut merasa ngeri juga khawatir.
“Iya … jadi gue
harus gimana ini? Sumpah gue bingung banget, jujur gue takut, hidup gue
bener-bener gak tenang. Pertama gue menyaksikan orang terbunuh, terus tiba-tiba
gue diteror dan tadi ada orang gila yang nuduh gue adalah pembunuhnya … Argh …
mau gila gue rasanya.”
Sementara Dani
mulai sibuk dengan pikirannya sendiri, lalu sesaat tersenyum penuh arti, “Jadi bener
lo punya bukti rekamannya, ya …” gumam Dani.
“Hah? Apa,
Dan?” suara Alia membuyarkan lamunan Dani.
“Eh, … gimana?”
Komentar
Posting Komentar