Rekap Dini Hari
Keheningan di sepertiga malam memang agaknya puitis sekali,
saat-saat seperti itu ingin rasanya berdialog dengan Neko kun, kucing yang suka
tiba-tiba muncul di jendela kamar saya, jika didiamkan ia akan turun ke kasur, menatap
saya, mengeong, lalu keluar kamar menuju pintu depan, mengeong-ngeong bermaksud
memanggil saya dan meminta dibukakan pintu, rupanya ia ingin keluar. Kadang
saya bukakan pintu sambil tertawa dan berterima kasih karena sudah dikunjungi,
kadang saya misuh-misuh kenapa masuk dan cuma ngerjain orang untuk bukain pintu
depan.
Tapi hanya ada hening juga tidak terlalu buruk, bisa untuk
bermonolog ria, sesaat saya pecah keheningan dengan alunan Tangan Hampa Kaki Telanjang dari Tiga Pagi, lalu mulai
mengingat-ingat obrolan saya dengan beberapa teman. Sabtu lalu saya meminta waktu
seorang teman lama untuk sekedar berdialog, awalnya saya niatkan untuk
berdiskusi ringan tentang akuntansi dan keuangan, tapi malah berakhir dengan
keluhan hidup yang sebenarnya itu-itu saja. Dan gadis tetaplah akan menjadi
gadis, setelah saya berkeluh kesah maka obrolan belok ke arah persoalan cinta
dan pernikahan.
Ah, obrolan yang rasanya tak terhindarkan oleh angkatan
saya, agak bosan tapi kadang menarik juga. Dia tidak bedanya dengan saya, kami
sama-sama gagap soal cinta, dan kelabakan kala berhadapan dengan laki-laki
dalam urusan cinta. Kami sepakat merasa belum siap untuk masalah itu dengan berlandaskan
kami belum mampu untuk mengurus orang lain. Mengurus diri sendiri saja masih
magang.
Bagi saya, seorang apatis dengan jiwa bebas yang terjebak
dalam tubuh yang masih terlihat seperti anak kecil padahal umurnya sudah dewasa,
cinta dan pernikahan adalah masa depan ketika saya sudah selesai dengan diri
saya sendiri. Sejujurnya saya masih ingin hidup dengan sederhana, sesederhana
memikirkan perkerjaan, orang tua, dan akhir pekan yang akan dihabiskan dengan
tidur atau tidak melakukan apa-apa atau keluar sekedar menghabiskan uang. Yang sebenarnya
dua hal pertama itu tidaklah sederhana. Namun, harus disadari bahwa tuntutan
sosial selalu bertolak belakang dengan pemikiran cetek saya. Untungnya (dan
rasanya) itu masihlah masa depan, masih ada waktu untuk menikmati kebebasan
ini (yang entah singkat atau lama). Lalu saya sudahi obrolan tentang itu dengan mengingatkan teman saya yang
ingin mencari kado untuk temannya yang akan menikah minggu depan.
Di lain waktu saya khusyuk mendengarkan kiat-kiat
meningkatkan iman yang disampaikan oleh seorang teman yang lain yang selalu membuka
pintu rumahnya lebar-lebar untuk saya. Di tengah teriknya matahari Bekasi,
rumahnya bagai oase yang menyejukkan, hal-hal yang disampaikannya menata hati
dan pikiran saya yang masih urakan. Satu-satunya teman yang tanpa sadar sudah
saya klaim sebagai sosok kakak, yang selalu mengingatkan tentang hari akhir
yang semakin dekat dan nasihat-nasihat untuk mempersiapkannya. Tanpa mengurangi
rasa hormat kepada eyang Sapardi, saya lebih mengimani bahwa kita tidaklah
abadi di dunia ini.
Selaras dengan berita yang saya dengar akhir-akhir ini,
banyak kasus orang meninggal karena penyakit asam lambung, membuat saya jadi
ingat mati. Seringnya saya sakit asam lambung mungkin salah satunya. Dalam
beberapa hal juga membuat saya ingat mati, ketika menyebrang jalan, ketika naik
kendaraan, ketika jalan sendirian saat hari sudah gelap, juga ketika habis
mengumpat saat ada orang yang menyebalkan. Bukan sebuah fobia, juga tidak berharap mati muda, kalau boleh
dibilang mungkin suatu bentuk kesadaran, bahwa di dunia ini kita hanya sebentar.
Seperti pepatah Jawa, urip mung mampir
ngombe.
Keheningan mulai terasa lagi setelah pikiran saya sampai
pada kematian, lebih baik saya sudahi rekap dan renungannya dan kembali tidur
di sisa waktu yang ada untuk menghadapi hari esok sebagai pion kapitalis.
"Mengurus diri sendiri masih magang."
BalasHapusLha situ mau lulus dan diakui biar ngga berstatus magang lagi kapan, Wi? Haha...
Secepatnya, mas xD
Hapusluar biasa tulisannya, "kembali tidur di sisa waktu yang ada untuk menghadapi hari esok sebagai pion kapitalis", hal itu menjadi garis entah kita atau mereka ketika semua pikiran menjadi parsi.
BalasHapusah, hanya tulisan asal di malam menjelang pagi
HapusBila merenung hingga pada kematian, rasanya diri ini jadi lupa bagaimana cara tertawa.
BalasHapusSesekali perlu supaya gak terlalu banyak tertawa sampai lupa bermanfaat karena hidup ini hanya sementara.
Hapus