Gunung Sumbing: Jejak Jejak si Gundul


Di jumat pagi yang cerah seminggu setelah Idul Fitri, saya menikmati sate ayam dan lontong sebagai menu sarapan sambil menunggu mas Wahyu di alun-alun Purworejo. Kami janjian bertemu untuk ngomongin persiapan naik gunung esok harinya, tapi sampai tusuk sate terakhir habis mas Wahyu belum juga kelihatan. Itu kalau lagi dalam situasi hanya menunggu orang saya pasti udah uring-uringan, untungnya saat itu saya juga lagi menikmati suasana alun-alun di pagi hari dan untungnya lagi perut sudah terisi.

“Maaf lama, mbak. Jalan kaki aku tadi makanya lama.”

Wah, saya sempat terheran-heran mendengar pengakuan mas Wahyu yang kuat jalan kaki dari rumahnya (di desa Sidorejo) ke alun-alun Purworejo. “Buat pemanasan.” Katanya lagi. Iya, ya, kenapa saya heran, toh, mas Wahyu bisa dibilang memang orang desa dan pendaki gunung, jadi itu mah biasa ajalah. Maklum heran untuk ukuran orang kota kayak saya yang jarak 400 meter aja males jalan kaki.

Setelah dua teman mas Wahyu, mas Galih dan mas Doni bergabung kami mulai membicarakan apa-apa saja yang akan dibawa mendaki nanti, sambil sesekali guyon sebagai ice breaking. Tapi, kok, ya, pembicaraan ini jadi akeh guyone, saya jadi punya perasaan perjalanan mendaki nanti pasti seru.

Sabtu jam 4 pagi saya sudah dijemput, lalu kami berempat langsung menuju alun-alun dan ke Masjid Agung untuk salat subuh dan menunggu dua orang teman lagi. Selesai salat kami langsung melanjutkan perjalanan, dengan tiga motor kami beriringan menyusuri jalanan yang masih sepi menuju Wonosobo.

Setelah dua jam perjalanan kami menepi di pasar Kertek untuk sarapan juga untuk membeli perbekalan dan perlengkapan yang masih kurang. Karena saya satu-satunya perempuan di kelompok jadi saya sadar diri untuk menyusuri pasar membeli sayuran, gak mau ribet saya beli aja sayur sop-sopan, bawang, penyedap rasa dan sosis. Pas semua perlengkapan dan perbekalan yang terkumpul dirasa cukup kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju basecamp Garung.


Selesai registrasi di basecamp dengan membayar Rp15.000/orang, Rp5.000 untuk peta, Rp15.000 untuk parkir tiga motor, kami juga mendapat karung untuk tempat membawa sampah. Setelah semua persiapan beres kami berkumpul membentuk lingkaran kecil dan mulai berdoa sebagai permulaan perjalanan kami mendaki gunung Sumbing via Garung. Dari basecamp Garung menuju pos 1 Malim jaraknya cukup jauh dengan medan jalan makadam yang terus menanjak. Di basecamp tersedia ojek dengan motor offroad (yang saya kira para pengemudinya seperti gak pernah menggunakan fungsi rem pada motornya) untuk yang mau menghemat waktu dan energi bisa menggunakan jasa ojek tersebut dengan biaya Rp 25.000/orang.

Hampir semua pendaki waktu itu menggunakan jasa ojek, kelompok saya tentu saja memilih jalan kaki, lalu di perjalanan bertemu dua sampai tiga rombongan yang juga berjalan kaki. Di mana seninya mendaki gunung kalau naik ojek, begitu pikiran jumawa kami waktu itu. Dengan prinsip alon-alon asal kelakon kami melangkahkan kaki dengan semangat, semangat yang lama-lama menjadi ‘Ya Allah ternyata jauh banget, ya…. jalan dari tadi gak nyampe-nyampe ini’. 



Itulah kenapa banyak yang memilih naik ojek, tapi kalau saya akan tetap memilih jalan kaki aja selain bisa menikmati perkebunan tembakau, bisa memperhatikan para petani bekerja juga setelah dilihat-lihat naik motor di jalanan menanjak cukup curam dengan kecepatan tinggi itu ngeri, saya gak bisa mempercayakan hidup saya pada tukang ojek yang bahkan gak pakai helm. :(

Ada cerita lucu ketika kami jalan melewati rumah warga, seorang anak kecil yang lagi duduk di teras rumah bersama ayahnya sudah memperhatikan kami dari jauh, semakin kami mendekat anak itu nyeletuk dengan lugunya, “Pak … kae pak, kae … gundul!” pecahlah tawa kami. Saya gak tau kenapa hal itu jadi begitu lucu, dan kenapa juga anak kecil itu girang dan bersemangat sekali melihat orang yang gundul, seperti belum pernah melihat sebelumnya. Ngomong-ngomong orang yang dimaksud adalah mas Doni, dan itu menjadi cikal bakal guyonan kami sepanjang perjalanan sampai-sampai kami menyebut perjalanan ini jejak si gundul.

podo gundule - *nyuwun sewu mas Doni*
Kami sampai di pos 1 Malim setelah dua jam berjalan kaki melewati perkebunan. Rasanya energi terkuras habis padahal bisa dibilang pendakian baru akan di mulai dari pos 1. Selanjutnya dari pos 1 menuju pos 2 Genus dan pos 3 Seduplak Roto jalanan terus menanjak dengan kontur tanah yang curam dan pasti licin kalau hujan.

Jalur pendakian gunung Sumbing ini cukup panjang tapi gak sepanjang jalur Merbabu juga hutannya gak selebat Merbabu, waktu tempuhnya lebih mirip ketika saya mendaki gunung Cikuray. Dan untuk di gunung Sumbing ini bagi saya jalur menuju pos 3 ada namanya jalur Engkol-engkolan adalah jalur paling bedebah, sungguh paling cepat bikin lelah dan berdebu karena waktu saya mendaki tidak ada hujan sama sekali. Di jalur ini juga memakan korban celana salah satu di antara kami (bukan saya tentunya) robek dengan tragis.





Kami memutuskan untuk berkemah di pos 3 untuk mengantisipasi kalau-kalau gak dapat lahan di pos 4. Sayangnya di pos 3 udah ramai, kami terpaksa melipir ke tempat yang agak kosong, lahan yang sepertinya bekas menjadi tempat buang air dilihat dari banyaknya tisu bekas berserakan, belum lagi drama mas Doni saat mencari lahan untuk tenda lalu malah menemukan tumpukan kotoran manusia yang menjijikan dan terus membahasnya. Ampun deh, mas Doni ini seperti punya radar untuk menemukan kotoran, sensitif sekali. Dan lagi-lagi saya mendapati harus tidur di tanah yang miring dan merosot-merosot ketika tidur.

Besoknya jam 4 pagi kami bersiap-siap untuk summit, perjalanan dari pos 3 ke puncak memakan waktu 4-5 jam yang artinya kami sudah pasti gak bisa menikmati sunrise di puncak. Jalur menuju puncak terus menanjak gak ada selo-selonya membuat saya terus-menerus minta istirahat sekedar mengatur napas atau minum. Saya sempat merasa jadi penghambat dalam perjalanan karena sering minta istirahat, tapi untungnya mas-mas ini sabar dan mengerti saya.

Saya mulai bersemangat ketika sampai di Pasar Watu karena jalur didominasi tebing dan batu-batu besar seperti meses yang disebar di atas kue. Jalur bebatuan masih akan terus ditemui sampai pos Watu Kotak hingga puncak, sebenarnya saya lebih suka jalur bebatuan seperti ini lebih berasa naik gunung dan gak terlalu cepat merasa lelah juga pemandangannya yang memuaskan mata. Gunung Sindoro yang terlihat jelas dan terasa dekat akan selalu setia di belakang menemani perjalanan mendaki menuju puncak Sumbing.





Sampai di puncak, seperti biasa ada rasa-rasa yang cukup emosional, rasa syukur, haru, lega, bahagia, apalagi ini adalah kali pertama kami berenam mendaki gunung Sumbing, bisa mencapai puncak tertinggi ke tiga di pulau Jawa merupakan bonus yang luar biasa, setidaknya bagi saya. Meski tidak mendapat pemandangan sunrise di puncak, pemandangan kawah, samudra awan dan gunung-gunung seperti Sindoro, Merapi, Merbabu, Prau terlihat sangat menawan dari kejauhan.



Jejak si gundul full team, dari kiri: mas Wahyu, mas Galih, Sanju, saya, Faiz, mas Doni
Perjalanan turun menjadi perjalanan yang rawan, mengingat jalurnya curam, sudah tenaga tinggal sisa-sisa, lutut sudah mulai gemetar menahan beban tubuh dan dosa. Sebelum turun ke basecamp kami sempatkan untuk mengisi energi dan menghabiskan perbekalan agar tas lebih lowong. Kami memasak semua mie instan, mungkin ini bisa dibilang penistaan mie instan karena saya mencapur indomi rasa kari dengan misedap rasa kari, tapi itu belum seberapa dibanding mas Galih yang mencampur indomi goreng, misedap goreng, indomi rasa kari, misedap rasa kari semuanya dicampur menjadi satu, penampilannya tidak terlihat mencurigakan tapi rasanya absurd. Lain kali lebih baik urusan masak memasak saya yang tangani saja, ya, mas-mas sekalian. Tapi toh mie yang rasanya absurd itu habis juga.

Ketika perjalanan turun melewati jalur engkol-engkolan mereka menyarankan saya untuk perosotan aja lewat sisi jalur yang tanahnya gak padat dan memang seperti habis buat perosotan, ya … mengingat saya hobi jatuh kalau naik gunung jadi saya putuskan untuk menikmati perosotan di gunung dengan konsekuensi celana dan sepatu penuh debu dan tanah.

Sampai di pos 1 Malim kami istirahat cukup lama, rasanya energi benar-benar terkuras. Di sini kami mempertimbangkan akan naik ojek atau jalan kaki, tapi karena saya beneran merasa ngeri jadi saya meminta untuk lanjut jalan kaki aja. Meski saya tau yang lainnya sudah benar-benar lelah apalagi mas Galih yang kakinya kayaknya cidera tapi mereka malah setuju untuk jalan. Sebenarnya saya merasa tidak enak, merasa egois tapi beneran, deh, ngeri banget kalo harus naik motor yang beneran gak pake rem. Iya tau mereka udah mahir dan terbiasa dengan medannya dan selama ini aman-aman aja, tapi gimana, sih, namanya orang beneran takut dan ngeri.

Syukurnya kami sampai di basecamp saat hari sudah sore dengan selamat meski terseok-seok. Kami istirahat dan membersihkan diri sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Purworejo.

Kami kembali beriringan dengan tiga motor menembus jalanan Wonosobo yang gelap dan dingin. Di tengah perjalanan hujan turun agak deras mas Wahyu memutuskan untuk menepikan motornya untuk berteduh memakai jas hujan (hanya saya sebenarnya yang pakai jas hujan). Kami mengira kalau saat itu kami berada di paling belakang dalam iring-iringan tiga motor tadi, lalu kami melanjutkan perjalanan menuju Purworejo.

Di jalanan yang menurun, gelap, sepi dan berkelok-kelok saya terserang rasa kantuk luar biasa.

“Mas, ngantuk banget, nih.”

“Bosenin, ya, jalanannya? Tapi jangan tidur, mbak, takutnya nanti jatuh doang ini.”

Dulu kaki saya sering dipukul bapak pas naik motor karena sering ketiduran yang membuat bapak kaget dan tiba-tiba oleng. Saya gak mau mengacaukan fokus mas Wahyu dengan mengajak ngobrol (dan karena gak ada bahan obrolan juga, sih) akhirnya saya berusaha membuat kepala saya penuh dengan memikirkan banyak hal, dan bergumam sendiri.

Sampai di Purworejo kami menepi sebentar di alun-alun, untuk mengecek kabar yang lain. Saat itu kami baru tau kalau ternyata mas Doni dan Mas Galih mengalami kecelakaan dan mereka masih berada di daerah Wonosobo bersama Sanju dan Faiz. Dengan masih agak panik mas Wahyu langsung mengantarkan saya pulang ke rumah dan setelah itu saya gak tau kabar selanjutnya. Besok paginya baru saya tanyakan dan syukurlah mas Galih dan mas Doni gak terluka parah, hanya bahunya keseleo katanya tapi motornya rusak parah.

Meski perjalanan pulangnya tertimpa kecelakaan senggaknya bisa sampai di rumah dan berkumpul dengan keluarga lagi. Terlepas dari perjalanan pulang itu, pendakian kali ini menjadi pendakian yang seru dan menyenangkan buat saya. Terima kasih buat mas Wahyu, mas Galih, mas Doni, mas Faiz dan mas Sanju, dua hari perjalanan yang seru, saya sangat terhibur dengan obrolan dan guyonan mas-mas sekalian yang meski bahasa Jawa tapi saya ngerti, kok. Terima kasih buat kenang-kenangan mendaki barengnya, saya berharap lain waktu bisa mendaki bareng lagi.

Ah, dan untuk pohon mahoni yang rencananya akan ditanam di atas tapi malah ketinggalan di basecamp semoga kamu baik-baik saja, senggaknya kamu sudah sampai di lereng gunung Sumbing setelah daun-daunmu berjuang melawan angin saat perjalanan Purworejo-Wonosobo.

Akhir kata ...



Komentar

  1. Itu mas sanju ama mas faiznya nggak bisa apa, wi, dipakein nama panggilan yang lain?Soalnya pas baca cerita ini kan langsung kebayang suasananya gimana, terus pas disebut namanya Sanju, keingetnya malah sania juniarta si JKT48. Palagi Faiz, kamen rider.

    Semoga itu mereka yang mengalami kecelakaan, beneran nggak cedera lebih dan cepet pulih. Kemaren nggak cerita kalo ada kejadian gitu, wi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh, iya juga, kubaru menyadari ada atsmofer yang beda kalo sebut nama sanju dan faiz xD

      Biar gak spoiler jadi ceritanya di sini, hehe.

      Hapus
  2. Weleh...jalan kaki ke alun-alun? SYANGAR!

    Lumayan juga jalan dari basecamp sampai puncaknya ya, Wi? Lama banget. Treknya panjang banget ini berati? Kok dari Pos 3 sampai puncak aja bisa sampai 5 jam?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jauh, kan, ya itu... bayanginnya aja aku udah lelah banget.

      Iya treknya emang panjang, mungkin biasa orang-orang 4 jam kali, ya. Ini karena kami sering berhenti istirahat jadi lebih lama.

      Hapus
  3. Wah mantap, sampai puncak. Aku pernah sekali naik gunung sumbing juga, tapi lupa lewat mana. Ga sampai puncak karena hujan deras. Nelongso sekali
    Habis itu kapok mau naik gunung lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang yang pertama kali nyoba naik gunung itu akhirnya kalo gak jadi kapok ya jadi ketagihan xD

      Hapus

Posting Komentar