Kecemasan sebagai Penyiksaan Diri


Saya hampir lupa kalo saya punya blog yang mestinya diisi postingan-postingan baru secara berkala, saking penuhnya pikiran saya tentang kamu. Jadi saya minta kamu jangan terlalu mendominasi di pikiran saya, terima kasih.

Baiklah, kami (saya dan Nika) ingin menghidupkan chitchatNN lagi dengan bahasan yang serius dan berat terkait anxiety. Tapi mengingat saya belum mampu menulis hal-hal semacam itu maka saya akan menuliskan kegelisahan saya saja alias curhat. Jadi ada baiknya membaca tulisan Nika terlebih dulu tentang Anxiety.


Seperti yang sudah dijelaskan Nika dalam blognya, social anxiety atau kecemasan sosial itu bisa dialami siapa saja terlebih di kehidupan modern, bahkan rasanya sudah merupakan hal biasa jika mengalami kecemasan-kecemasan seperti itu terlebih didukung dengan sosial media yang oleh sebagian besar penggunanya dibuat untuk arena pameran semata.

Kecemasan berangkat dari ketidakpastian. Perasaan di mana kita tidak merasa yakin akan sesuatu, dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan konfirmasi. Seperti “Apa dia serius dengan kata-katanya?”, “Apa saya membosankan?”, “Apa saya hanya menjadi beban?”, karena perasaan tidak nyaman ketika kita tidak tau perasaan dan pikiran orang lain terhadap kita yang terus menerus terpikirkan akan membuat anxiety bagi mereka yang tidak bisa meminimalkan rasa cemas itu. Atau ketidakpastian akan masa depan, “Apakah saya akan bisa berguna untuk masyarakat?”, “Apakah saya akan tetap bisa memimpin perusahaan ini dengan baik?”, “Apakah saya akan berakhir sendirian dan dikucilkan?” yang mana memang tidak satupun manusia tau akan masa depannya, dan kita masih saja mempertanyakan kepastiannya karena kita akan merasa aman ketika sudah mengetahuinya.

Uncertainty is the only certainty there is, and knowing how to live with insecurity is the only security.  John Allen Paulos

Saya mengakui merasakan kecemasan-kecemasan itu ketika teman saya yang lain bisa mengelola bisnisnya dengan baik, atau bekerja di bidang yang memang mereka suka, atau mereka yang hidupnya sudah stabil, atau mereka yang sudah bisa bermanfaat atau berkontribusi dengan baik di masyarakat. Sedang saya merasa diri ini sangat tertinggal jauh. Jika sudah begitu pikiran saya akan mengawang ke waktu yang lalu-lalu, kemudian sedikit demi sedikit menyesali keputusan-keputusan bodoh nan impulsif yang saya pilih dulu, seperti apakah jika dulu saya menuruti keinginan bapak untuk melanjutkan sekolah perpajakan maka hidup saya sekarang akan menjadi berguna untuk bangsa dan negara?

Pikiran-pikiran yang menyebalkan memang, tapi saya sama sekali tidak merasa gagal. Meski gak sesuai dengan yang saya cita-citakan dulu tapi bagi saya semua itu menjadi pengalaman dan pelajaran hidup, klise, sih, tapi coba dipikir lagi untuk apa sebenarnya kita hidup? Untuk mati. Benar, tapi sebelum itu?

Saya setuju jika semua orang bermakna dan memiliki tujuan hidup di dunia ini, maka itu kita terus mencari-cari apa makna dari hidup kita, apa tujuan kita hidup. Mungkin sebagian beruntung telah menemukan atau menetapkan tujuan hidupnya, sebagian masih terus mencari kepastian-kepastian dalam ketidakpastian hidup, mencemaskan keberadaan dirinya di kehidupan sosial yang rumit ini. Lebih parah lagi membandingkan hidupnya dengan hidup orang lain yang sudah terlihat pasti, lalu menyesali diri sendiri dan larut dalam anxiety berkepanjangan.

Dipikir-pikir akan makin cemas kalo terlalu fokus dengan diri sendiri, ada banyak hal yang bisa dilakukan dan butuh perhatian kita. Yakin saja ada yang membutuhkan peran kita di luar sana.

Saya mengamini manusia hidup di dunia untuk beribadah kepada Tuhan, selebihnya ya menikmati dan menjalani kehidupan itu hingga saatnya nanti mati dan kembali ke sisi Tuhan. Sederhana, bukan? Ya, semestinya sesederhana itu. Sayangnya semakin modern manusia semakin membuat kehidupan menjadi semakin kompleks nan rumit, serumit memikirkan kepastian-kepastian di masa depan. Padahal yang sudah pasti adalah kematian.

Lalu kenapa saya harus resah dan fokus dengan hal-hal yang tak pasti itu? Kenapa gak santai aja menikmati ketidakpastian itu?

Karena kepastian itu adalah ketidakpastian itu sendiri dan kecemasan bukanlah hal yang fana melainkan sesuatu yang harus kita hadapi. Maka baiknya kita bisa menangani dan meminimalkan rasa cemas tersebut, ada beberapa tips dari Nika yang sudah dijabarkan dalam blognya mungkin bisa sangat membantu.

Dalam agama atau kepercayaan, orang-orang yang sudah yakin dengan kekuasaan Tuhannya sudah tidak lagi pusing-pusing memikirkan status dan ekspektasi orang lain terhadap dirinya, mereka hanya fokus beribadah, membantu sesama manusia sebisanya, dan memenuhi hidupnya dengan hal-hal baik.

Saya juga selalu ingat saran dari seorang teman dalam menjalani hidup, yaitu yang pertama dan yang utama adalah mendekatkan diri kepada Allah, setelahnya jalani hidup sebagaimana adanya, kerja 40 jam per minggu mengumpulkan uang dan jika sudah jenuh pergi traveling atau naik gunung, uang habis kerja lagi, ya gitu-gitu aja. Dan sepertinya itulah kehidupan paling sederhana yang bisa saya jalani.

Dan lagi ada seseorang yang bilang saya ini ‘introvert cuek gak urus’ tapi sepertinya dirinya tidak masalah dengan itu, mestinya sudah tidak ada lagi yang perlu saya cemaskan, kan? 

Karena seperti yang dikatakan Newt Scamander, magizoologist kesayangan kita bahwa jika cemas berarti tersiksa dua kali.


Komentar

  1. Feel the same, yang artiya, saya merasakan hal yang (kurang lebih) sama. Sering baper kalau lihat pencapaian temen seumuran yang udah bisa ini, bisa itu, dapet ini, dapet itu,--sementara saya kok ya masih di level ini-ini aja. Malah tak rasa-rasain 'level' yang ada saat ini, makin hari makin turun. Berasa nggak punya target buat dikejar gitu *sedih banget sih ini*

    Makasih, Wi....tulisanmu sudah lumayan menyuntikkan semangat ke seorang Wisnu ('_'7)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah.. padahal mah ngapain juga baper, wong beda orang beda hajat, beda pencapaian. Buat pengingat aja jangan bandingin terus sama orang lain. Biar gak anxious.

      Makasih juga udah baca. Alhamdulillah kalo tulisan seadanya ini bisa ngasih semangat.

      Hapus
  2. Mengapresiasi terhadap apapun yg kita capai itu perlu. Sebagai tanda menghargai usaha sendiri & salah satu usaha membahagiakan diri sendiri😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju!!!
      Untuk rakyat jelata sepertiku kalo bukan diri sendiri siapa lagi yang bakal mengapresiasi apalagi kalo belom punya karya

      Hapus

Posting Komentar