Kretek Tingwe


Shinta duduk di kursi reyot tua yang kontras dengan tubuh mudanya, direbahnya tubuh tanpa gairah sambil memandang pekarangan belakang rumah yang tak kalah muram. Wajahnya lesu tapi masih meninggalkan jejak cantik, dahinya berkerut menyiratkan beban di dalam kepala, pikirannya penuh dan kusut seperti benang yang dikuwel-kuwel sulit untuk diuraikan. 

Tak jelas apa yang dipandanginya seolah penglihatannya bisa menembus pagar sampai jauh, sejauh-jauh yang tak bisa dibayangkan. Tak lama ia mengubah posisi duduknya jadi miring ke kiri mengeluarkan suara derit kursi yang memecahkan keheningan, ditopang dagunya dengan tangan kiri yang bertumpu pada tangan kursi, seperti sangat lelah dihembuskan napasnya dengan berat.

Rama mengintip dari balik pintu, bertanya-tanya ada apa gerangan Shinta yang selalu terlihat berseri menjadi lesu seperti tahanan perang yang tidak makan dan tidak tidur berhari-hari. Didekatinya Shinta dengan langkah santai tapi penuh rasa ingin tau, Rama duduk di kursi reyot tua lainnya yang kosong menghasilkan suara derit yang sekali lagi memecah hening. Dalam diam Rama menyulut sebatang kretek yang sedari tadi dipegangnya menghisap untuk pertama kalinya kemudian meletakan bungkusan kretek yang dilintingnya sendiri dan geretan di meja, di samping kanannya di antara kursinya dan kursi Shinta. 

Shinta mengambil satu batang kretek setelah beberapa saat memandanginya, mengambil geretan lalu menyulutnya, menikmati dua hisapan kemudian menyandarkan tubuhnya lagi pada sandaran kursi yang tentu saja suaranya memecah hening di antara asap kretek. Masih dalam diam baik Rama maupun Shinta menikmati kreteknya masing-masing, memandang pekarangan yang masih muram. Kerutan di dahi Shinta mulai hilang seiring dengan kreteknya yang mulai memendek.

Komentar

  1. Ini kalo disuruh bikin rangkuman ceritanya, aku bakal nulis,

    Di hari yang sepi dan lengang, Rama melihat Shinta sedang gundah. Mereka duduk bersama sambil masing2 tercetus di keinginan di kepalanya, "sebat dulu."


    Ini bagus narasinya Wi. Jelas. Detil. Penggambarannya bisa mudah kebayang. Suara2 kursi tua juga dikenal semua orang. Ngalir ngikuti dibawa ke mana ceritanya. Udah, lanjut jadi scene lainnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kurang lebih begitu, sebat dulu mikir kemudian.

      Tapi... buat apa narasi bagus tapi gak tau ceritanya mau dibawa kemana ..

      Hapus
    2. Jangan kufur nikmat wahai, Saudari. Jangan mengeluhkan kekurangan lainnya, syukuri dulu narasi bagus yg telah dibuat. Terlebih perkara ketidaktahuan merupakan hal lumrah. Manusia. Tuhan lah yg Maha Tahu segalanya. Percaya saja ceritanya akan dibawa ke tujuan yg baik. Billa hi taufiq wal hidayah, wa ridho wal inayah, wassalamualaikum wa rahmatullahi wabarokatuh.

      Hapus
  2. Aku mbayangin kalau setting tempat e itu ada di rumah-rumah tua di Lasem. Ditambah lagi dengan nama Kretek Tingwe yang berasa ada aksen-aksen Mandarinnya gitu. Padahal singkatan dari Linting Dewe, iyo ra, Wi? Hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku gak tau daerah Lasem kayak gimana, tapi terdengar otentik.
      Hahaha, iya juga, ya. Padahal akronim bahasa Jawa.

      Hapus

Posting Komentar