Hidup atau Merdeka
Berbicara kemerdekaan
Aku ingin merdeka dari uang
Dari segala nilai tukar, dari segala penilaian
Tidak bisa, kata kenyataan
O, ternyata aku membutuhkannya untuk tetap bisa hidup
di
dunia yang tak mengijinkan yang hidup merdeka
Jadi inilah pilihannya, hidup atau merdeka
Kenyataan berbisik lirih padamu
Jangan hidup jika ingin merdeka,
jangan memimpikan merdeka jika ingin hidup
Slipi, 17 Agustus 2019
Jika dipikir-pikir bagaimana bisa merasa merdeka dengan
adanya revisi UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang isinya semakin tidak memihak pada
buruh. Sebelum adanya revisi UU itu saja hak-hak para buruh sudah dirampas dan
diperlakukan dengan semena-mena sedangkan proses untuk meminta kembali haknya juga
seakan dipersulit. Maka dengan adanya revisi UUK ini semakin mengaminkan bahwa
selama ini tidak ada undang-undang yang benar-benar memihak dan membela buruh.
Pasal 81 yang tentang cuti haid dan penjelasan alasan dicabutnya benar-benar bikin saya sakit hati sebagai manusia terlebih sebagai perempuan, hanya demi uang dan keuntungan pengusaha mereka menyepelekan nyeri haid dan menyarankan obat anti nyeri. Saya gak tau ya, apa di mata pengusaha buruh itu tidak lain hanya objek komoditas? Seperti mesin-mesin produksi yang bisa mereka beli? Seperti limbah yang perlu segera dibuang?
Lalu apa ini bisa disebut ironi, sehari sebelum hari kemerdekaan Indonesia para buruh yang melakukan aksi untuk menolak revisi UUK mendapat perlakuan represif dari aparat. Tidak hanya buruh yang melakukan aksi, para jurnalis yang meliput kegiatan itupun mendapat ancaman penjara. Apakah ini wujud kemerdekaan sesungguhnya?
Sebentar, ada banyak hal receh yang bisa saya pikirkan, lalu kenapa saya capek-capek menyoroti berita tentang revisi UUK ini?
Mungkin saat ini saya tidak merasakan dampak secara langsung jika revisi UUK ini disahkan, tapi tidak menutup kemungkinan kemudian hari saya akan mendapat perlakuan semena-mena dari perusahaan tempat saya bekerja dan sulit mendapatkan hak saya karena peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan lebih memihak pada pemodal atau pengusaha. Selain itu, mungkin ada rasa solidaritas saya kepada para buruh pabrik yang terancam akan lebih diperlakukan semena-mena. Dan jika dipikir lagi sebenarnya posisi saya pun juga gak beda jauh dengan buruh pabrik.
Beberapa hari terakhir ini saya terus mengikuti berita-berita tentang revisi UUK ini kemudian otak saya terus saja memikirkannya, bersamaan dengan momen hari kemerdekaan Indonesia, lalu terbentuk pertanyaan-pertanyaan seperti apa sih, rasanya merdeka? Apa selama ini masyarakat Indonesia khususnya kelas menengah ke bawah sudah merdeka? Apa mereka menyadari sebenarnya mereka sudah merasa merdeka atau belum? Apakah merasa merdeka juga termasuk privilege yang hanya beberapa orang saja yang bisa merasakan?
Referensi:
http://ksn.or.id/revisi-uuk-dalam-rezim-fleksibilitas-bag-2/#_ftn2
https://kabar24.bisnis.com/read/20190816/15/1137452/polisi-intimidasi-wartawan-saat-liput-aksi-unjuk-rasa-di-area-dprmpr#.XVZMQzdGAwo.whatsapp
Referensi:
http://ksn.or.id/revisi-uuk-dalam-rezim-fleksibilitas-bag-2/#_ftn2
https://kabar24.bisnis.com/read/20190816/15/1137452/polisi-intimidasi-wartawan-saat-liput-aksi-unjuk-rasa-di-area-dprmpr#.XVZMQzdGAwo.whatsapp
Prinsip ekonomi, dengan modal yang sekecil2nya, mendapatkan untung sebesar2nya. Memanfaatkan SDM sebesar2nya juga termasuk dalam teknik menambah keuntungan. Waktu produktifnya jadi meningkat. Jadi ya memang, bawahan itu hanyalah sumber daya, bisa diperas sampe tetes terakhir. :(
BalasHapusKalo merdeka hanya sebatas terbebas dari jajahan bangsa lain, ya, semuanya merasakan merdeka. Tapi kalo dari jajahan alat pembayaran dan tuntutan sosial, sepertinya tak akan.
Fakta yang menyebalkan dan menyedihkan. Begitulah cara dunia ini bekerja, gak ada jalan lain selain tetap berjuang baik sendiri atau berserikat.
HapusKeterlaluan emang tuh revisinya. Apalagi yang cuti haid. Yang bikin pasti cowok! Dan penganut patriarki. Haha.
BalasHapusSoal kebijakan yang berat sebelah ke pihak perusahaan atau pengusaha emang dari dulu, sih. Kalau sekarang sampai jadi kayak gitu, jangan kaget nanti banyak atasan-atasan yang ketika karyawannya sakit tetep disuruh masuk dengan cara dikenakan potongan. Mungkin niat awalnya baik buat karyawan yang cari-cari alasan izin enggak masuk. Terus tinggal beli surat dokter 25-30k. Tapi ya kenapa jadi kena ke semua karyawan. Yang betulan sakit kan kasihan. Saya pernah jadi korbannya. Demam, radang, batuk, dan pilek kudu bela-belain masuk daripada enggak target dan potong gaji.
Selain itu, kasihan nasib para pegawai lepas yang kerjanya tanpa kontrak. Sering banget dizalimi. Kerja jadi penulis, tapi karena mereka tahu bisa sedikit-sedikit desain, ada tugas tambahan buat mengedit beberapa foto pakai desain itu. Lucunya, tugas bertambah, eh upahnya sama aja. Wqwqwq.
Ya, sepertinya kolonialisme dan patriarki akan tetap ada sampai dunia ini berakhir, mau dikritik kayak gimana juga.
HapusItulah, hak-hak pekerja dikesampingkan yang utama ialah profit.
Tapi sekarang udah ada peraturan kontrak kerja untuk pekerja lepas gitu, waktu itu pernah liat dibagikan sama akun sindikasi. Mungkin bisa buat dasar menagih hak.