Taman Ismail Marzuki Dan Impian Masa Kecil
Pertengahan Oktober kemarin saya menonton pertunjukan orkestra di Taman Ismail Marzuki. Saat itu acara yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta adalah Jakarta City Philharmonic edisi #25 bertema “Manusia dan Mesin” dengan menampilkan karya:
- Aldiansya, Fero “Gerigi”
- PROKOFIEV, Sergei “Konserto Piano Kedua dalam G Minor, Op. 16”
- Adams, John “Short Ride on a Fast Machine”
- Sibelius, Jean “Simfoni Ketujuh dalam C Mayor, Op. 105”
- Mossolov, Alexander “The Iron Foundry, Op. 19”
Informasi di atas saya salin dari akun instagram @jakartscouncil karena tentu saja saya tidak akan ingat karya apa saja yang
ditampilkan, walau sebelumnya sudah disebutkan oleh pembawa acara. Sebenarnya saya nggak mengerti musik klasik seperti itu, yang membuat saya ingin menonton
adalah karena saya belum pernah menyaksikan orkestra secara langsung di gedung
teater. Ya, se-random dan clueless itu saya membuat keputusan.
Kebetulan waktu itu menontonnya setelah melewati hari yang cukup lelah di
kantor, jadilah saya menahan rasa kantuk di awal-awal pertunjukan, apalagi lagu
klasik seperti itu cocok untuk pengantar tidur.
Sementara saya berusaha fokus mendengarkan dan menyingkirkan
rasa kantuk, teman menonton saya malah sibuk dengan pergulatan perasaannya
terhadap musik yang sedang mengalun, menganalisis musik yang disebutnya
memiliki beberapa tahap, seperti tahap pengenalan, tahap konflik, dan tahap
penyelesaian, serta komentar-komentar lainnya yang sulit saya ingat. Meski sama-sama tidak
punya pengetahuan tentang musik semacam ini setidaknya dia punya intreprestasi
tersendiri, tidak seperti saya yang masih memproses apakah alunan musik ini
benar-benar berasal dari orang-orang di depan sana yang memainkan biola, cello, terompet, dan piano. Selebihnya saya hanya terpukau. Dan malam itu sepertinya acara kencan kami yang paling berkelas, menyaksikan orkestra meski sambil menahan kantuk.
Setelah diingat-ingat, dulu saat masih kecil saya dan ibu
saya ketika malam di rumah suka menonton film Hollywood yang berlatar tahun
20’an di telivisi. Beberapa film di dalamnya ada adegan para bangsawan menikmati
hiburan opera atau musik dalam gedung teater (biasa saja sebenarnya seperti
gedung bioskop saat ini tapi jauh lebih klasik dan megah), dengan panggung di depan dan
kursi penonton memenuhi setengah lingkaran ruangannya dan berundak-undak, belum
ada teknologi canggih sebagai pendukung sehingga yang duduk di atas jauh dari
panggung harus menggunakan binokular untuk bisa melihat pertunjukan di panggung
dengan jelas. Saya ingin sekali bisa menyaksikan pertunjukkan teater atau orkestra
di gedung teater seperti para bangsawan di tahun 20’an itu.
Setelah bertahun-tahun, setelah semua informasi mudah diakses, setelah menetap di daerah strategis tidak jauh dari TIM, setelah ada teman yang selalu bisa menemani, akhirnya saya menyadari salah satu impian masa kecil saya sudah terwujud. Mungkin harusnya saya berterima kasih kepada Dewan Kesenian Jakarta dan Taman Ismail Marzuki karena telah memberikan saya kesempatan mewujudkan impian masa kecil saya.
Hampir dua tahun terakhir ini saya rajin ke TIM mengikuti beberapa acara yang diadakan, meski bukan anak seni dan nggak terlalu mengerti seni tapi saya menikmati beberapa acaranya seperti pertunjukkan teater, tari, orkestra, musik pop indie, pameran buku, dan diskusi literasi. Saya merasa seperti bangsawan yang mengerti seni, hahaha.
Saya masih ingat tahun lalu teater pertama yang kami lihat berjudul City of Darkness yang di tampilkan oleh Teater Ash dari Hongkong di gedung Graha Bhakti Budaya, TIM. Setelah itu kami terus mengikuti informasi dari Dewan Kesenian Jakarta dan menyempatkan datang mengikuti acaranya. Masih ingat juga kami bengong setelah menyaksikan teater Jolt yang isinya tidak lebih dari sekumpulan orang yang membanting diri lalu saling membanting sepanjang pertunjukkan. Pernah juga kami sangat terpukau dengan pertunjukkan teater kontemporer Baal yang dipentaskan oleh Impermanence Dance Theatre, narasinya bagus, tariannya indah, musiknya juga indah. Saya jadi ikut menyukai melodi klasik Swedia seperti dia.
Minggu ini kita bisa menyaksikan teater di Festival Teater Jakarta bertajuk "Drama Penonton". Acaranya berlangsung selama 12 - 29 November di Teater Jakarta dan Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Untuk menyaksikannya kita bisa melakukan regristrasi terlebih dahulu di sini atau bisa juga mendapatkan tiketnya on the spot yang tentu saja terbatas. Untuk informasi acara lainnya bisa langsung cek instagram @jakartscouncil.
Ayo kita nonton teater seperti bangsawan...
Intreprestasi itu apaan, Wi?
BalasHapusIya juga, ya, rangorang bangsawan kan kalo di tipi sering banget ditunjukin hiburannya itu semcam opera dan teater yang mereka duduk di atas megang binikular dan pake topi bangsawan yg khas. Di Indonesia kayaknya belum banyak yg begitu, tapi di luar negeri, gaya mereka yg kelas tinggi masih kayak yg ditunjukan di tipi. nonton barongsai saja di gedung performance yg kayak orkestra dan masuknya bayar mahal itu.
Jadi pengin ke TIM lagi nonton teater, walo nggak ngerti apa yg diceritain.
Typo :((
HapusMaksudnya interpretasi.
Ayo kita nonton teater! Kan, seni itu bebas interpretasi sendiri, hehe.
( ( (SETELAH ADA TEMAN YANG SELALU BISA MENEMANI) ) )
BalasHapusNgomong-ngomong soal nonton film yang settingnya gedung teater dan penontonnya pakai binokular, saya jadi inget sama film The Greatest Showmannya Hugh Jackman.
Biola,tau. Terompet, tau. Piano, tau. Lah, cello itu yang kaya gimana? *saya belum googling*
Kalo gak ada temannya nanti aku bengong-bengong sendirian kan gak enak.
HapusHa iya, oertunjukkan semacam itu.
Cello itu bentuknya kayak biola gitu, alat musik gesek juga tapi ukurannya jauh lebih besar.
Saya sebagai orang Makassar yang pernah punya kesempatan main ke Jakarta beberapa hari, justru ngga pernah ngunjungi Taman Ismail Marzuki. Padahal ini terkenal banget ya di Jakarta Mba? Pertunjukannya juga keren-keren gitu. Ntar kalo ke Jakarta mau mampir kesini deh. Semoga bisa, hehe.
BalasHapusTaman Ismail Marzuki terkenal dikalangan orang-orang seni aja sih, mbak, secara umum orang Jakarta taunya di TIM cuma ada planetarium udah, gak terlalu menarik perhatian. Saya aja baru beberapa tahun terakhir ini tau kalo di TIM banyak acara yang seru.
HapusIya, mbak sempetin ke sini, semoga nanti pas ke Jakarta pas ada acara yang seru.