#ChitChatNN Tradisi yang Diributkan

Karena masih dalam suasana lebaran, saya mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1441 H, mohon maaf bila ada tulisan di sini yang tidak berkenan di hati.

Dalam rubrik ChitChatNN kali ini, saya dan Nika akan membahas salah satu yang diributkan orang-orang di sosial media baru-baru ini yaitu tentang kirim-kiriman hampers lebaran. Tidak ada yang baru sebenarnya, kirim-kiriman bingkisan, hadiah atau parsel di hari raya sudah biasa terjadi dari dulu, seperti yang sering saya katakan, tidak ada yang baru di bawah matahari, lalu mengapa diributkan, ya?

Baca tulisan Nika di sini Hampers Kekinian

source
Alasannya mungkin ada beberapa orang yang baru mengetahui kata hamper yang terdengar asing dan aneh, mungkin karena harga hamper yang lebih mahal dari harga parsel pada umumnya, mungkin ada yang tidak setuju penggunaan kata hamper yang menurutnya lebih cocok menggunakan kata parsel, mungkin karena beberapa orang iri karena tidak mendapatkan satu pun *masukkan gambar ipin iri bilang bos* hehe, canda.

Sebelum ikut memeriahkan ribut-ribut tentang hamper, mari kita cari tau informasi terkaitnya. Sejarahnya, hamper pertama kali diperkenalkan di Inggris oleh William the Conqueror, asal katanya sendiri dari bahasa Perancis hanapier, yang secara harfiah berarti keranjang untuk piala. Di benua Amerika istilah hamper merujuk pada keranjang untuk pakaian yang akan dicuci. Di Inggris istilah hamper lebih erat dengan keranjang anyaman yang berukuran besar untuk mengangkut barang atau makanan. 

Dengan begitu istilah hamper ini erat dengan wadah berbentuk keranjang berisi barang atau makanan, jadi kalau kamu mengirim bingkisan lebaran tidak menggunakan wadah keranjang nggak usah sok nyebut hamper, ya. Hehe canda, kok. Kita bisa membuat istilah hamper sendiri di sini, nggak apa-apa kalau kamu menyebut mengirim bingkisan dalam bungkus kotak atau bentuk apapun dengan hamper. Bukankah yang terpenting adalah tujuan kegiatan mengirimnya? Yang penting maksud untuk berbagi rejeki dan menyenangkan orang bisa tersampaikan dengan baik.

Terlebih di saat seperti ini banyak orang terisolasi, tidak bisa berkumpul dengan keluarga dan saudaranya, beberapa kehilangan pekerjaan, beberapa pemasukannya berkurang, beberapa harus bertahan dan mempertahankan pegawainya. Dengan adanya kegiatan kirim-kiriman ini banyak orang jadi terbantu, para pelaku bisnis UMKM jadi banyak menerima pesanan hampers akhirnya bisa bertahan dan bisa memberi tunjangan hari raya ke pegawainya, para perantau yang jauh dari keluarga jadi senang menerima kiriman hamper dan merasa diperhatikan. Bingkisan itu menjadi salah satu penghubung bagi mereka yang tidak bisa berkumpul karena dampak pandemi ini.

Kondisi saat ini mengingatkan saya dengan kisah yang ditulis oleh Nur Janti di laman Historia, berjudul Berlebaran di Tahanan. Kisah Mia Bustam pada lebaran tahun 1966 ketika dirinya menjadi tahanan politik 1965. Ada banyak besek-besek yang isinya lontong, ketupat, jadah gula dan makanan tahan lama seperti abon dikirim ke kamp, besek itu merupakan satu-satunya tali penghubung antara keluarga dan tapol di hari raya karena tidak diperbolehkan bertemu dengan para tapol. Sama seperti banyak dari kita yang tidak bisa bertemu dengan keluarga dan teman di hari raya karena sedang tertib mengikuti anjuran social distancing demi memutus penyebaran covid19.

Terlepas dari harga hamper yang lebih mahal dan terkesan marketing gimmick, terlepas dari ada orang yang hanya menjadikannya sebagai pencitraan di sosial media, kegiatan ini lebih banyak menyenangkan orang jadi mungkin kita bisa mengabaikan hal-hal yang tidak kita sukai agar tercipta kedamaian dalam bersosial media. 

Kegiatan mengirim atau memberi bingkisan/parsel/hamper di hari raya ini sudah menjadi tradisi di Indonesia sejak dulu, dan merupakan tradisi yang baik yang sepatutnya dilakukan dengan sukacita. Jadi seharusnya tidak perlu ada ribut-ribut, tidak perlu ada sindiran atau nyinyir, ojo gumunan lah. 

Loh, tapi sekarang saja saya lagi gumun kenapa ginian aja sempat diributkan, hhh.

Komentar

  1. semuanya baik, asal tidak berlebihan.

    saya kirim hampers kalo lagi ada hajatan di rumah. ngirimi lemper, dodol, pisang, serabi... itu maish keitung hampers nggak kalo dibungkus pake keranjang?

    tidak senang dengan hampers-hampersan ya tentu karna nggak dapet, kalo meninjau bahasan yg katanya masa sekarang, yang dapat hampers selalu yang nggak benar-benar membutuhkan, bukan? jadi kalo ngebahas hampers, nggak perlu ngebawa situasi corona gabisa pulang. dan lagi, saat sama-sama di penjara, teman2 seselnya juga kebagian atau bisa tukeran. nggak hanya menikmati penampilannya saja dengan tatapan penuh harap.

    sama seperti bridesmaid, bridal shower, donasi ke korban bully, bagi2 hampers juga akan menimbulkan sisi lainnya selain sisi membahagiakan. tinggal menunggu waktu bahagianya terganti dan penuh keluhan. polanya sama, asal mula pelakunya sama, efeknya tentu akan sama.

    ini aku ngomongin apa dah, pusing. terserah mau ngapain aja lah. asal kurangi bikin rame dan ributnya. hal sepribadi itu, ngapain dibahas secara publik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya ada aturan tidak tertulis yang saya pegang kalau nulis chitchatnn, yaitu buat tulisan dengan vibe sepositif mungkin. Pas nulis ini lumayan nahan diri buat gak misuh dan nyinyir. Eh, anda malah ngespill semua, hmm...

      Ukuran berlebihan atau nggak tergantung subjeknya, sih. Kalo saya ngirimin teman hampers senilai ratusan ribu saja itu terhitung berlebihan bagi saya, karena kalau dilihat-lihat teman-teman saya jauh lebih berkecukupan jadi lebih baik saya kirim ke orang tua di kampung saja. Tapi mereka yang memang punya harta berlebih ngirimin teman-temannya hampers senilai jutaan kayaknya gak berlebihan.
      Terus kenapa gak perlu ngebawa situasi corona dan saat sama-sama di penjara? Orang kalo lagi gumun ya semua jadi kebawa. Di penjara pun sama, itu kisahnya Mia gak dapat kiriman satupun, terus karena seorang penjaga kasihan dia ngambilin makanan sedikit-sedikit dari semua kiriman buat dikasihkan ke Mia. Terus mia heran pas lihat anak lelaki yang mengais tumpukan bungkus bekas makanan dan menjilat-jilat bungkus bekas opor, berarti orang-orang yang satu sel sama anak itu nggak berbagi dong.

      Kayaknya di saat seperti ini ketika kita lagi merasa susah, segala hal baik yang didapat orang lain akan terasa salah, berlebihan dan menyebalkan, saya pernah kayak gitu soalnya, iri. Dan kayaknya wajar manusia ngerasa gitu. Tapi ya itu, terserah mau ngapain aja asal kurangi bikin rame dan ributnya.
      Ya maaf saya ikut meramaikan, karena lagi gumun dan belum ketemu bahasan lain buat chitchatnn.

      Hapus
    2. Saya tekankan poin utama saya. Saya gak peduli. Itu urusan pribadi orang, mau ngasi mau nggak mau aplot mau diem. Terserah. Jangan ribut aja. Berisik.

      Lalu apa yg dirasakan oleh mia saat tau anak itu gak dapet? Apa pandangan penjaga terhadapnya? Kenapa dia gak dikasi sedikit oleh penjaga seperti pada mia? Kenapa penghuni lainnya juga abai? Mana tadi yg katanya bagi2 bahagia... ah iya, saya jg gatau anak itu siapa. Mia itu siapa. Penjaganya siapa. Penghuninya siapa. Mari saya kembali ke prinsip. Mungkin mia dan penghuni penjara emang bahagia di penjara. Mungkin itu cara penjaganya untuk bahagia dgn memberi pada mia. Dan mungkin itu passionnya si anak untuk menjilati plastik sisa. Yg penting mereka bahagia dah.

      Hapus
    3. Araso... araso...
      Diminum dulu teh bunga lavendernya biar lebih releks.

      Hapus

Posting Komentar